Senin, 11 Januari 2010

Air Menghilang di Afrika, Perang Mengancam

Kurang dari 50 tahun lalu, Danau Chad lebih luas dari wilayah Palestina yang dikuasai Israel. Tapi sekarang, danau itu luasnya kurang dari sepersepuluh luas awal. Diperkirakan dalam waktu 20 tahun ke depan, danau akan menghilang.

Perubahan iklim dan penggunaan besar-besaran, menjadikan salah satu danau terpenting di Afrika itu terancam mati, sehingga 30 juta manusia yang tergantung padanya juga terancam bahaya.

Para pakar mengatakan, krisis yang tidak pernah terjadi sebelumnya menggelayuti wilayah danau dan sekitarnya, yang saat ini pun telah mengalami krisis makanan serta gangguan keamanan.

"Jika Danau Chad mengering, 30 juta orang akan kehilangan sumber kehidupan. Dan akan ada masalah keamanan serius, karena perebutan sumber air yang sangat terbatas semakin meningkat," kata Dr. Abdullahi Umar Ganduje, Sekretaris Eksekutif Komite Lembah Danau Chad (LCBC) kepada Inter Press di Roma.

"Kemiskinan dan kelaparan akan meningkat. Ketika tidak ada makanan untuk dimakan, maka kecenderungannya terjadi kekerasan."

Danau yang menciut sebanyak 90% antara tahun 1963 dan 2001, dari luas 25.000 km2 menjadi kurang dari 1.500 km2 itu, berbatasan dengan negara Chad, Niger, Kamerun, dan Nigeria.

Empat negara lainnya, yaitu Republik Afrika Tengah, Aljazair, Sudan dan Libya, berbagi air danau melalui lembah-lembah danau, sehingga mereka juga akan ikut terpengaruh masa depannya.

"Danau Chad mengalami penyusutan," kata pemimpin Libya Muammar Gaddafi pada World Food Security Summit yang diselengarakan FAO di Roma bulan Nopember lalu.

"Jika danau mengering, maka akan terjadi bencana besar. Saya ingin mengingatkan dunia mengenai bencana yang ada di depan mata ini."

Bencana itu sebenarnya sudah terjadi. Desa-desa yang dulu berjaya dengan pelabuhan-pelabuhan di tepi danau, kini jaraknya bermil-mil dari air, dan ditelan Gurun Sahara yang semakin meluas. Petani dan nelayan berjuang mati-matian sekedar untuk bertahan untuk hidup.

"Situtasi yang dramatis sudah terjadi," kata Maher Salman, pejabat teknis di divisi tanah dan air FAO kepada Inter Press.

"Dampaknya sudah terlihat jelas. Terjadi perpindahan penduduk ke luar. Orang-orang pergi mencari air, jadi mereka meninggalkan daerah sekitar danau."

Nelayan yang dulu bisa memenuhi tempat-tempat hasil tangkapan ikan mereka, kini hanya mendapatkan separuhnya. Menurut FAO, hasil produksi ikan di danau itu berkurang hingga 60%, dan jenis ikan yang berhasil ditangkap juga berkurang drastis.

Para petani yang mengandalkan air danau untuk irigasi, harus pindah mendekati air, atau membiarkan begitu saja lahan garapannya.

Kurangnya air menyebabkan padang-padang rumput kering, sehingga hewan-hewan terancam punah. Padang rumput yang mengering diperkirakan 46,5% di beberapa daerah pada tahun 2006, menyebabkan banyak hewan ternak mati dan menjungkirbalikkan hasil produksi ternak.

Perang Air

Seperti itulah keadaan yang dikhawatirkan oleh mantan Wakil Presiden Bank Dunia, Ismail Serageldin, pada tahun 1995 ketika ia berkata, "Perang di abad ke-20 adalah karena memperebutkan minyak. Perang di abad selanjutnya karena memperebutkan air."

Pandangan Serageldin itu dikutip oleh banyak organisasi dalam laporan yang mereka buat, termasuk oleh badan intelijen Amerika Serikat, CIA.

Sudah banyak laporan yang menyebutkan terjadinya pertikaian antara petani dan pengembala yang memperebutkan lahan-lahan subur di sekitar Danau Chad. Keanekaragaman hayati juga terpukul dengan keadaan danau yang memprihatinkan. Begitu pula dengan kondisi kesehatan di daerah-daerah sekitarnya.

"Karena pergerakan manusia yang mencari makan begitu tinggi, maka interaksi di antara mereka juga meningkat. Yang mana hal itu membuat masalah semakin pelik, karena tingginya kasus penderita HIV di kalangan penduduk sekitar Danau Chad," kata Ganduje.

Hanya sedikit yang bisa dilakukan di tingkat regional terkait perubahan iklim --yang menyerang danau dari dua sisi, yaitu berkurangnya curah hujan dan meningkatnya laju penguapan air karena suhu udara yang bertambah panas. Kedalaman danau yang dangkal membuatnya semakin rentan terkena dampak pemanasan global.

Situasinya sangat suram, tapi bukan berarti tanpa harapan. Sebagian masalah masih bisa ditangani secara lokal.

"Kami optimis," kata Ganduje. "Kami mengatur penggunaan air Danau Chad. Kami sedang merancang sebuah perjanjian sehingga setiap orang mempunyai aturan yang sama dalam penggunaan air."

"Kami juga mengontrol aktivitas yang berkaitan dengan Danau Chad, seperti pembangunan bendungan dan irigasi. Kami mengontrol perilaku manusia untuk berjaga-jaga dari faktor-faktor di luar kuasa kami."

Kepercayaan diri tersebut diperlukan seiring dengan meningkatnya pemahaman akan perlunya menanggulangi masalah yang ada.

"Sudah ada kesadaran perlunya diterapkan strategi manajemen yang baru," kata Salman.

"Kesimpulan umum dari kebanyakan studi atas penyusutan danau adalah akibat dua faktor, yaitu tekanan manusia atas sumber-sumber air dan perubahan iklim. Pastinya ada solusi untuk itu."

"Perlu adanya optimasi penggunaan air di setiap sektor, meningkatkan upaya konservasi air, dan menurunkan skala penggunaan teknologi pertanian agar irigasi semakin efisien. Kesadaran tentang penggunaan air juga penting, agar masyarakat berhemat."

LBCB juga menaruh harapan yang sangat tinggi atas upayanya yang ambisius, yaitu mengembalikan danau seperti keadaan di tahun 1960-an, dengan mengalirkan sumber air dari Sungai Oubangur yang menjadi sumber terbesar bagi Sungai Kongo.

"Kajian untuk melihat kemungkinan tersebut telah mulai dilakukan, dan dana telah disiapkan." kata Ganduje.

"Para kepala negara yakin akan kemajuan yang akan dicapai. Jika kajian itu hasilnya positif, kami yakin akan mendapatkan dukungan politik yang diperlukan."

FAO mengatakan bahwa organisasinya tidak pada posisi untuk menentukan, apakah proyek itu harus dilanjutkan atau tidak. Meskipun demikian, pihaknya mengingatkan agar berhati-hati dengan dampak yang mungkin berpengaruh pada sistem Sungai Kongo.

Hal yang dipandang penting oleh FAO adalah rencana nyata untuk menyelamatkan danau, sehingga lembaga-lembaga donor benar-benar mau berkomitmen dalam rencana yang sangat penting bagi kehidupan puluhan juta manusia itu.

"Ada rencana strategis untuk pembangunan berkelanjutan di Danau Chad, tapi untuk mewujudkannya kami memerlukan rencana investasi," kata Salman.

"Kami perlu mengadakan beberapa pertemuan lagi dengan para donor untuk menegaskan komitmen mereka dan memastikan dengan baik komitmen itu melalui investasi. Kabar baiknya adalah, sudah ada konsensus mengenai perlunya tindakan untuk mengatasi masalah tersebut." [di/ips/www.hidayatullah.com]

CDM Publishes Sustainability Performance Report

CDM announces the publication of its sustainability performance report. The report—presented only online—reflects the firm's approaches, actions, and ongoing commitment to sustainability for the company, clients, and the communities where CDM's employees live and work.

In this Web-based report, CDM communicates the issues that are of most concern to stakeholders, structuring information around four key areas: clients and projects, employees, communities, and internal operations. The report provides operational metrics and measures, and it features case studies that illustrate sustainable solutions for clients.

More than 60 years ago, CDM co-founder Thomas Camp left his professorship at the Massachusetts Institute of Technology to start a consulting practice dedicated to improving public health, protecting the environment, and supporting social and economic development. "Throughout our history, CDM's greatest contributions to sustainability have been through the projects we deliver in collaboration with our clients, and we remain committed to providing solutions that improve economic vitality, environmental value, and quality of life," states Richard D. Fox, CDM Chairman of the Board and Chief Executive Officer. "Sustainability has been a part of CDM since our founding and is a philosophy embedded in every facet of our organization and fundamental to every project we undertake."

In addition to showcasing client projects, the report highlights efforts in improving internal practices. Highlights include: OSHA injury rates that have consistently been better than the national average for our industry; CDM University course offerings that provided an average of 13 hours of training per employee and delivered more than 22,400 hours of online education; nearly half a million dollars invested in educational opportunities for minorities in engineering and science and development of future business leaders; incorporating Leadership in Energy and Environmental Design (LEED®) criteria in office renovations and relocations; and reduction in greenhouse gas emissions through such actions as fuel-efficient corporate vehicles, video conferencing facilities, and partnering with ZipCar.

CDM's sustainability performance report is one tool in a continual process that balances business opportunities with social, economic, and environmental responsibilities, and serves as an instrument in communicating the firm's actions, successes, and challenges.

CDM Sustainability Performance Report: www.cdm.com/sustainability/sustainability_report.

AWAS BAHAYA SAMPAH PLASTIK !

Rasa – rasanya tak ada diantara kita yang tak menggunakan plastik. Dari alat yang sederhana seperti tas kresek, kantong makanan dan minuman, alat – alat rumah tangga, elektronik, peralatan kantor sampai dengan peralatan untuk produk berteknologi tinggi seperti komputer, pesawat terbang dan lainnya. Akibatnya sampah plastik pun semakin melimpah.

Dampak plastik terhadap lingkungan ternyata sangat signifikan. Plastik yang mulai digunakan sekitar 50 tahun yang silam, kini telah menjadi barang yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Diperkirakan ada 500 juta sampai 1 milyar kantong plastik digunakan penduduk dunia dalam satu tahun. Ini berarti ada sekitar 1 juta kantong plastik per menit. Menurut para ahli untuk membuatnya, diperlukan 12 juta barel minyak per tahun, dan 14 juta pohon ditebang.

Konsumsi berlebih terhadap plastik, pun mengakibatkan jumlah sampah plastik yang besar. Karena bukan berasal dari senyawa biologis, plastik memiliki sifat sulit terdegradasi (non-biodegradable). Plastik diperkirakan membutuhkan waktu 100 hingga 500 tahun hingga dapat terdekomposisi (terurai) dengan sempurna. Sampah kantong plastik dapat mencemari tanah, air, laut, bahkan udara.

Kantong plastik terbuat dari penyulingan gas dan minyak yang disebut ethylene. Minyak, gas dan batu bara mentah adalah sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui. Semakin banyak penggunaan palstik berarti semakin cepat menghabiskan sumber daya alam tersebut.

Fakta tentang bahan pembuat plastik, (umumnya polimer polivinil) terbuat dari polychlorinated biphenyl (PCB) yang mempunyai struktur mirip DDT. Serta kantong plastik yang sulit untuk diurai oleh tanah hingga membutuhkan waktu antara 100 hingga 500 tahun. Akan memberikan akibat antara lain: Pertama, tercemarnya tanah, air tanah dan makhluk bawah tanah. Kedua ,racun-racun dari partikel plastik yang masuk ke dalam tanah akan membunuh hewan-hewan pengurai di dalam tanah seperti cacing. Ketiga, PCB yang tidak dapat terurai meskipun termakan oleh binatang maupun tanaman akan menjadi racun berantai sesuai urutan rantai makanan. Keempat, kantong plastik akan mengganggu jalur air yang teresap ke dalam tanah. Kelima, menurunkan kesuburan tanah karena plastik juga menghalangi sirkulasi udara di dalam tanah dan ruang gerak makhluk bawah tanah yang mampu meyuburkan tanah. Keenam, kantong plastik yang sukar diurai, mempunyai umur panjang, dan ringan akan mudah diterbangkan angin hingga ke laut sekalipun. Ketujuh, hewan-hewan dapat terjerat dalam tumpukan plastik. Hewan-hewan laut seperti lumba-lumba, penyu laut, dan anjing laut menganggap kantong-kantong plastik tersebut makanan dan akhirnya mati karena tidak dapat mencernanya. Ketika hewan mati, kantong plastik yang berada di dalam tubuhnya tetap tidak akan hancur menjadi bangkai dan dapat meracuni hewan lainnya. Ketujuh, pembuangan sampah plastik sembarangan di sungai-sungai akan mengakibatkan pendangkalan sungai dan penyumbatan aliran sungai yang menyebabkan banjir.

Sebagai tambahan pemahaman, penulis beberkan beberapa fakta yang berkaitan dengan sampah plastik dan lingkungan yang didapat dari berbagai sumber. Kantong plastik sisa telah banyak ditemukan di kerongkongan anak elang laut di Pulau Midway, Lautan Pacific. Sekitar 80% sampah dilautan berasal dari daratan, dan hampir 90% adalah plastik. Dalam bulan Juni 2006 program lingkungan PBB memperkirakan dalam setiap mil persegi terdapat 46,000 sampah plastik mengambang di lautan. Setiap tahun, plastik telah ’membunuh’ hingga 1 juta burung laut, 100.000 mamalia laut dan ikan-ikan yang tak terhitung jumlahnya. Banyak penyu di kepulauan seribu yang mati karena memakan plastik yang dikira ubur-ubur, makanan yang disukainya.

Untuk menanggulangi sampah plastik beberapa pihak mencoba untuk membakarnya. Tetapi proses pembakaran yang kurang sempurna dan tidak teurainya partikel-partikel plastik dengan sempurna justru menyebabkannya menjadi dioksin di udara. Dan bila manusia menghirup dioksin ini manusia akan rentan terhadap berbagai penyakit di antaranya kanker, gangguan sistem syaraf, hepatitis, pembengkakan hati, dan gejala depresi.
Lalu apa yang bisa kita lakukan sekarang? Kita memang tidak mungkin bisa menghapuskan penggunaan kantong plastik 100%, tetapi yang paling memungkinkan adalah dengan memakai ulang plastik (reuse), mengurangi pemakaian plastik (reduce), dan mendaur ulang (recycle). Terakhir, mungkin perlu regulasi dari pemerintah untuk meredam semakin meningkatnya penggunaan plastik.

MENANGANI BANJIR

Musim hujan telah tiba dan banjir pun seakan – akan telah menjadi tamu yang selalu datang pada daerah – daerah yang telah menjadi langganan banjir. Ironisnya, daerah yang sebelumnya tidak pernah terkena , kini harus pasrah diterjang luapan air.

Tak dapat disangkal lagi, penyebab utama banjir masih didominasi oleh ulah buruk manusia. Sebesar apapun curah hujan yang jatuh di permukaan bumi, tak akan berpengaruh buruk jika semua aspek ekologis terjaga dengan baik. Banjir, tanah longsor adalah akibat dari tidak arifnya kita mengelola lingkungan. Hutan yang gundul, semakin berkurangnya daerah resapan, berkurangnya zona hijau dan lain-lain menggambarkan betapa tidak cerdasnya kita dalam mengelola lingkungan. Keserakahan dan sifat tamak kita mengejar keuntungan sesaat membuat kita lupa tentang arti pentingnya lingkungan bagi kesinambungan kehidupan kita. Kita kurang memahami kearifan alam.
Dapat kita bayangkan, ketika hutan yang berfungsi sebagai resapan air semakin gundul. Ketika air hujan mengguyur kawasan tersebut, maka air tersebut langung turun ke tempat yang lebih rendah dengan leluasa, mengikis lapisan tanah permukaan ( run-off ) yang dilalui. Apalagi bila sungai yang dilalui buruk kondisi alirannya. Sungai – sungai penuh oleh sampah dan lumpur akibat erosi dari lahan yang dibabat hutannya.
Kebiasaan masyarakat yang menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah, menjadikan sungai semakin dangkal, sehingga air sungai mudah meluap.

Dalam skala lokal, buruknya drainase kota juga punya andil besar terjadinya banjir. Di beberapa kota seperti Pontianak saluran drainase selain menampung air hujan juga menampung air limbah dari kegiatan masyarakat, sehingga beban yang ditampung oleh saluran tersebut semakin berat. Banyak saluran pembuangan air yang tak berfungsi sebagaimana mestinya . Saluran air yang ada di kota seakan – akan menjadi bak sampah komunal yang terisi oleh sampah – sampah plastik, kaleng, kertas, daun, dan lain – lain. Maka tidalah mengherankan ketika hujan turun dengan lebatnya beberapa jam saja, kota yang telah menjadi ”hutan beton”, jalan aspal, kawasan pemukiman padat, dan daerah industri itu terendam air.

Selain itu, industrilisasi beserta kegiatan yang mengikutinya ( seperti transportasi dan gedung – gedung ber-AC ) berdampak pada efek rumah kaca ( green house effect ) yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global ( global warming ). Suhu muka air laut naik. Dan daratan beku di Benua Antartikapun meleleh. Akibatnya, tejadilah kenaikan permukaan air laut ( Sea Level Rise atau SLR ).

Menurut analisa Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional ( Bakosurtanal ), laju SLR di beberapa pulau kecil dan kota di pantai utara jawa ( seperti Jakarta, Semarang, dan Jepara ) sekitar 8 mm/tahun. Dampaknya adalah menimbulkan pembendungan di muara – muara sungai dan mulut saluran drainase terhadap air tawar yang datang dari daratan. Jika hal ini disertai dengan curah hujan yang tinggi, banjir pun menjadi kian hebat.

Kondisi ini diperparah oleh muara – muara sungai di Indonesia yang umumnya landai. Pembendungan tersebut membuat kecepatan air sungai berkurang. Akibatnya laju sedimentasi di muara akan bertambah sehingga menguragi daya tampung sungai di muara.
Bagaimana caranya kita menangani banjir ? Tidaklah mudah menangani banjir yang begitu kompleks, diperlukan strategi yang komprehensif dengan melibatkan berbagai instansi terkait dan masyarakat.

Secara filosofis, penanganan banjir dapat dilakukan dengan beberapa strategi. Pertama, menerapkan pola protektif. Pola ini dilakukan dengan membangun bangunan pengendali banjir, misalnya waduk, kolam – kolam penampungan, sumur resapan, saluran pengendali banjir, drainase, pintu air beserta instalasi pompanya, dan tanggul. Pada pola ini juga diharapkan adanya Sistem Pengendalian Drainase Terpadu Kota yang mampu mendeteksi debit dan volume air yang memasuki saluran drainase kota. Kedua, dengan pola adaptasi. Pola ini dilakukan dengan cara menyesuaikan kondisi yang terjadi misalnya dengan membuat rumah panggung atau meninggikan badan jalan yang sering tergenang banjir. Ketiga, dengan pola retreat ( mundur ), yakni dengan menyesuaikan peruntukan lahan sesuai dengan kondisi alamnya. Salah satunya, menjauhkan permukiman penduduk dari daerah rawan banjir. Diperlukaan adanya pemetaan yang akurat daerah – daerah yang rawan banjir. Upaya lainya adalah membangun Sistem Peringatan Dini Banjir. Daerah – daerah rawan banjir perlu memasang instalasi teknologi yang dapat mendeteksi curah hujan dan debit air sehingga mampu secara dini memprediksi terjadinya banjir.

Selain itu, program – program seperti Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan guna mengurangi laju erosi dan run-off ( aliran permukaan ) , Program Kali Bersih yang dapat mengurangi gangguan terhadap aliran sungai sekaligus menambah daya tampung sungai serta Program Langit Biru yang diharapkan dapat mengurangi emisi gas buang ke udara sehingga dapat menurunkan laju pemanasan global, harus sering digalakkan.
Tapi yang terpenting adalah bagaimana masyarakat dapat berperan secara aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup, masyarakat sadar sebagai bagian dari lingkungan dimana ia berada, sehingga diharapkan akan tumbuh kearifan lokal. Contoh tumbuhnya kearifan lokal dalam mengelola lingkungan , seperti yang telah ditunjukkan oleh masyarakat adat antara Desa Teriak dan Desa Temia Sio Kecamatan Teriak Kabupaten Bengkayang yang telah menetapkan Hutan Gunung Jalo sebagai Hutan Adat. Dengan melestarikan hutan masyarakat setempat dengan hukum adat yang melekat padanya memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan ekosistem hutan dan seluruh habitat yang ada didalamnya. Yang tak kalah pentingnya adalah menanamkan pendidikan lingkungan sejak dini. Perlu ditanamkan ” Kesolehan Lingkungan ”, bahwa menjaga dan melestarikan lingkungan merupakan bentuk ibadah dan perwujudan syukur kepada Sang Khalik. . (Penulis adalah staf Badan Lingkungan Hidup Kota Pontianak).

AYO HIJAUKAN KOTA KITA !

Kota memiliki daya tarik yang mampu menyedot orang untuk berlomban – lomba mendatanginya. Sebagai pusat perdagangan, perindustrian, jasa, hiburan, pemerintahan dan pendidikan menjadikan beban kota semakin berat. Permasalahan lingkungan hiduppun di kota sangat spesifik dan begitu kompleks. Permasalahan tidak hanya terbatas pada kondisi sosialnya, namun juga pada komponen lingkungan lainnya. Permasalahan yang ada mulai dari infrastruktur, ketersedian air bersih, sanitasi, polusi, kemacetan lalu lintas, sampai kepada berkurangnya ruang terbuka hijau.

Keterbatasan lahan dan peningkatan jumlah penduduk setiap tahun menyebabkan kota menjadi padat. Akhirnya, kedua faktor tersebut dapat menimbulkan kekumuhan kota. Aktivitas kota akan mempengaruhi kualitas lingkungan perkotaan. Kota dengan kegiatan industri, perdagangan, dan jasa yang intensif akan menimbulkan permasalahan lingkungan. Kompetisi penggunaan lahan yang terjadi antara guna lahan dengan fungsi ekonomis, seperti perdagangan dan jasa, industri serta pemukiman, mendesak keberadaan ruang terbuka bervegetasi.

Pada kenyataannya pertambahan penduduk berakibat pada peningkatan jumlah sarana untuk memenuhi dan memudahkan kegiatan sehari-hari. Sarana yang semakin bertambah adalah kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor sangat dibutuhkan sebagai kendaraan yang dapat mempersingkat waktu.. Menurut Ir. Haryadi S. Triwibowo , Kabid Pengawasan dan Penaatan Hukum Badan Lingkungan Hidup Kota Pontianak (dimuat di salah satu harian lokal Pontianak tangal 23 Oktober 2009 ) , berdasarkan hasil pengujian emisi sumber bergerak kendaraan bermotor yang telah dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup Kota Pontianak empat tahun terakhir ini didapat 65 % dari 600 kendaraan bermotor yang diuji berada diatas ambang batas gas emisi yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Dari 65 % itu, sebagian besar merupakan angkutan umun. Menurut Beliau, pertumbuhan kendaraan bermotor di kota Pontianak mencapai 17 % setiap tahunnya dan saat ini jumlah kendaraan bermotor telah mencapai 450 ribu unit. Semakin besar pertumbuhan kendaraan berarti semakin banyak gas emisi buangannya. Sehingga perlu pemakaian kendaraan secara efektif.

Daerah perkotaan dengan jumlah penduduk yang padat menyebabkan berkurangnya lahan untuk vegetasi. Lahan bervegetasi diganti dengan permukiman, gedung-gedung, dan industri untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota. Ruang terbuka hijau yang sempit menyebabkan radiasi panas dari sinar matahari tidak dipantulkan, namun langsung diserap oleh gedung-gedung, dinding, dan atap. Sarana dan prasarana seperti fasilitas gedung, jalan, pertokoan, permukiman, pabrik menyebabkan berkurangnya jumlah ruang vegetasi di kota. Sarana transportasi yang semakin meningkat menyebabkan naiknya kuantitas gas CO2. Sedikit ruang vegetasi yang ada menyebabkan berkurangnya penyerapan CO2, akibatnya terjadi ketidakseimbangan komposisi udara. Hal ini mengakibatkan suhu permukaan meningkat 10 s.d. 20oC dari suhu udara ambient (Heidt dan Neef 2006).

Besarnya jumlah penduduk, banyaknya bangunan-bangunan, jumah kendaraan bermotor yang tidak seimbang dengan panjang ruas jalan yang tersedia sebagai penyebab kemacetan jalan, dan kebisingan menyebabkan Kota terasa semakin sesak dan tidak nyaman. Dalam melakukan kegiatan sehari-hari, suatu hal yang sangat diperhatikan adalah faktor kenyamanan dalam melakukan suatu kegiatan, apalagi jika berhubungan dengan kegiatan kesenangan atau bermain maka faktor kenyamanan merupakan prioritas yang sangat penting. Sebagian besar kota di Indonesia saat ini dirasakan tidak nyaman, penuh kebisingan, panas dan berdebu di waktu siang hari, polusi udara, banjir jika musim penghujan. Salah satu penyebabnya adalah hilangnya salah satu daya dukung lingkungan.
Peningkatan suhu udara di perkotaan terjadi akibat meluasnya areal terbangun tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan.. Kota akan menyimpan dan melepaskan panas di siang hari dan malam hari. Pada malam hari kota menjadi lebih panas dibanding daerah sekitarnya dan terjadi efek pulau bahang atau urban heat island.

Jalur hijau vegetasi berguna untuk mengurangi efek pulau bahang. Tumbuhan dan air akan mengurangi panas melalui evapotranspirasi yang dilakukan. Penambahan luas permukaan untuk vegetasi dapat menurunkan suhu maksium udara.

Manfaat dari segi ini dapat langsung dirasakan. Manfaat yang dapat langsung dirasakan adalah menciptakan iklim mikro di dalam perkotaan. Rumput-rumputan walaupun tergolong tanaman bawah, namun memiliki peranan untuk merubah komposisi CO2 udara sekitar, presipitasi, dan suhu sekitar dalam kisaran kecil (Dukes et al. 2005).

Udara alami yang bersih sering dikotori oleh debu, baik yang dihasilkan oleh kegiatan alami maupun kegiatan manusia. Dengan adanya hutan kota, partikel padat yang tersuspensi pada lapisan biosfer bumi akan dapat dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan serapan. Dengan adanya mekanisme ini jumlah debu yang melayang-layang di udara akan menurun. Partikel yang melayang-layang di permukaan bumi sebagian akan terjerap (menempel) pada permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan yang mempunyai permukaan yang kasar dan sebagian lagi terserap masuk ke dalam ruang stomata daun. Ada juga partikel yang menempel pada kulit pohon, cabang dan ranting.

Daun yang berbulu dan berlekuk seperti halnya daun Bunga Matahari dan Kersen mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menjerap partikel dari pada daun yang mempunyai permukaan yang halus. Manfaat dari adanya tajuk hutan kota ini adalah menjadikan udara yang lebih bersih dan sehat, jika dibandingkan dengan kondisi udara pada kondisi tanpa tajuk dari hutan kota (Dahlan dan Endes 1992).

Penghijauan atau hutan kota dapat mengurangi efek pulau bahang. Vegetasi mengurangi efek ini melalui penyerapan sumber-sumber pencemar. Penelitian di Toronto tahun 2005 membuktikan bahwa vegetasi dapat mengurangi sumber-sumber pencemar NO2, S02, CO, PM10 and ozon. Rumput di atap dapat menyerap CO 0,14 - 0,35 Mg, menyerap NO2 0,65 - 1,60 Mg, menyerap ozon 1,27 - 3,1 Mg, menyerap PM10 0,88 - 2,17 Mg, menyerap SO2 0,25 - 0,61 Mg. Pohon mampu menyerap CO 0,06 - 0,57 Mg, NO2 0,62 - 3,74 Mg, ozon 1,09 - 7,4 Mg, PM10 1,37 - 5,57 Mg, dan SO2 0,23 - 1,37 Mg (Currie dan Bass 2005). Ruang terbuka hijau berupa hutan kota mampu mereduksi kebisingan, tergantung dari jenis spesies, tinggi tanaman, kerapatan dan jarak tumbuh, dan faktor iklim yaitu suhu, kecepatan angin, dan kelembaban.

Keuntungan sosial dari penghijauan dapat dirasakan oleh individual, atau seluruh penduduk. Pemandangan ruang hijau dapat meningkatkan produktivitas kerja, mengurangi stress, dapat mempercepat penyembuhan. Keuntungan ruang hijau juga dirasakan oleh organisasi. Pekerja yang di ruangan sekitanya terdapat pemandangan hijau vegetasi memiliki produktivitas kerja yang lebih tinggi, dan supervisor menyatakan bahwa pekerjanya lebih produktif. Sebagian besar keuntungan penghijauan/lingkungan hijau terukur pada tingkat individu. Pemandangan vegetasi dan air telah dibuktikan mengurangi stres, meningkatkan penyembuhan, dan mengurangi penderita frustasi dan agresi. Pemandangan ruang hijau di rumah juga terkait dengan rasa kasih sayang yang tinggi dan kepuasan tetangga.

Kaitan segala aspek penghijauan di atas terhadap kehidupan masyarakat menjadikan masyarakat kota berwawasan ekologi. Tujuan dari masyarakat kota berwawasan ekologis adalah menyampaikan permasalahan lingkungan perkotaan yang tanpa dirasa cenderung memburuk, menjadikan kota tempat yang aman dan nyaman untuk bekerja, hidup, dan membesarkan anak tanpa merusak kemampuan generasi depan untuk berbuat hal yang sama. Tujuan masyarakat berwawasan ekologi terletak pada umat manusia yang hidup berdampingan dengan siklus alam pada prioritas kepedulian lingkungan dalam penyelenggarakan perkotaan (Inoguchi et.al. 2003).

Kesimpulan
Permasalahan yang selalu ada di kota adalah pertambahan penduduk setiap tahun. Pertambahan ini menyebabkan peningkatan sarana penunjang berupa kendaraan bermotor dan gedung/bangunan. Sarana ini menyebabkan masalah pada kondisi fisik kota. Masalah yang muncul adalah terciptanya efek pulau bahang, udara kota yang tidak sehat, kebisingan, dan ketidaknyamanan hidup di kota. Penghijauan mampu mengembalikan iklim mikro kota sehingga menghilangkan efek pulau bahang. Vegetasi juga mampu menyerap debu dan polutan yang dihasilkan kendaraan bermotor. Manfaat lain adalah vegetasi mampu meredam kebisingan dan meningkatkan kenyamanan hidup di kota. Maka tunggu apa lagi Ayo hijaukan kota kita ! Hijau Kotaku……Sehat Wargaku. ( Penulis merupakan Staf Badan Lingkungan Hidup Kota Pontianak ).

Rabu, 30 September 2009

DARI PEMBANGUNAN BERTUMPU PADA PERTUMBUHAN MENUJU PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Oleh : Imansyah

Kita sekarang berada di dunia yang bergerak begitu cepat. Informasi, teknologi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan bergerak tanpa mengenal batas – batas wilayah. Perubahan yang secara cepat dan mendasar yang terjadi terus menerus dimana – mana mengakibatkan kemajuan sekaligus juga ketimpangan sosial, perkembangan global sekaligus peminggiran budaya lokal, eksploitasi sumber daya sekaligus peningkatan dampak lingkungan yang kompleks. Fenomena tersebut terus berlangsung hingga akhirnya bermuara pada persoalan keadilan dan keberlanjutan masa depan. Muncul kekhawatiran akan datangnya bencana ekologi yang dapat menyebabkan hancurnya daya dukung lingkungan dan sulit untuk dipulihkan lagi. Suatu bencana yang merupakan ulah kerakusan generasi kini yang pada akhirnya akan mengurangi kemampuan hidup generasi yang akan datang.

Berangkat dari kekhawatiran tersebut, maka perlu ada pengkajian ulang paradigma pembangunan, dari paradigma yang bertumpu pada strategi pertumbuhan ( ekonomi ) menuju pembangunan berkelanjutan ( ekologi ). Menarik untuk dikaji bersama pemikiran baru mengenai integrasi ekonomi dan ekologi menuju pembangunan berkelanjutan.

Pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan dengan angka tidak menggambarkan peningkatan pemerataan yang diharapkan. Kesenjangan terjadi di kalangan masyarakat, sekelompok kecil konglomerat menguasai sebagian besar aset produktif dan sebagian besar rakyat hanya dapat mengelola aset produktif yang relatif kecil.

Modernisasi melalui paradigma pertumbuhan, disamping mendatangkan manfaat bagi sekelompok masyarakat namun juga merugikan bagi kelompok masyarakat lainnya. Kritik yang mengemuka berkaitan dengan paradoks modernisasi yang terjadi seperti pertumbuhan ekonomi versus kemerosotan ekosistem, bertumpuknya kekayaan atau kekuatan ekonomi hanya pada segelintir orang atau beberapa kelompok versus marginalisasi atau pemiskinan, globalisasi versus lokalisasi. Proyek – proyek modernisasi yang diyakini dapat menyelesaikan sejumlah masalah, ternyata malah menimbulkan masalah baru yang tak kalah pelikya.

Kecenderungan modernisasi yang menggalang akumulasi modal dan pemanfaatan alam sebesar – besarnya, dianggap memiliki dampak mendorong kerakusan manusia atas alam. Proyek besar dianggap sebagai arena pemasaran teknologi dan industri negara maju yang mengakibatkan ketergantungan dan membebani hutang luar negeri negara miskin. Disamping itu juga menjadi biang keladi tersingkirnya masyarakat kecil dan tidak jarang mengakibatkan kerusakan lingkungan.

Pembangunan sedang mencari bentuk baru, ketika realitas yang berkembang justru terjadi ancaman bencana ekologi. Krisis multi dimensi Indonesia yang terjadi sejak tahun 1997, merupakan contoh yang dapat kita rasakan betapa pembanguan yang terlalu cepat tanpa perencanaan dan pengawasan yang tepat dan cermat membawa perubahan berakibat pada hancurnya ekosistem dan tatanan sosial kemasyarakatan. Berbagai pemikiran baru dan upaya nyata sedang dilakukan dengan memaknai nilai spritual dan mencari solusinya melalui pembangunan berkelanjutan.

Ide tentang Pembangunan Berkelanjutan ( Sustainable Development ) berakar pada pemikiran untuk mengintegrasikan ekonomi dan ekologi ( WCED, 1987; Boester, 1994; Panayotue, 1994 ). Ide ini merupakan paradigma baru dalam pembangunan yang mulai diterjemahkan ke dalam berbagai konsep. Kesadaran mengenai masalah lingkungan dipicu oleh munculnya dampak negatif dari proses industrilisasi yang cenderung mengeksploitasi sumber daya alam secara besar – besaran yang menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan ( Dhakidae, 1994 ).

Berbagai isu yang berkembang mengenai lingkungan mendorong Perserikatan Bangsa – Bangsa ( PBB ) menyelenggarakan konferensi mengenai Human Environment di Stockholm tahun 1972. Konferensi ini melahirkan deklarasi The Principles of Environment and Development. Sejak pertemuan Stockholm tersebut isu mengenai lingkungan berkembang pesat mempengaruhi pergeseran paradigma pembangunan yang dianut oleh negara maju yang semula sangat mengutamakan pertumbuhan ekonomi bergeser menuju peningkatan kualitas hidup melalui pembangunan berwawasan lingkungan.

Berbagai pandangan mengenai pembangunan dan lingkungan merupakan suatu proses yang alamiah. Sebagaimana konsep tentang pembangunan, konsep tentang pembangunan berkelanjutan ini sangat beragam atau bervariasi yang dipengaruhi kondisi pembangunan maupun kepentingan suatu negara dan kelompok tertentu seperti jaringan bisnis dan komunitas lokal. Kegiatan pembangunan, baik itu ekonomi maupun sosial budaya, merupakan hubungan atau interaksi antara manusia dengan lingkungan sekitarnya ( Colby, 1990 ).

Pembangunan berkelanjutan, setidaknya membahas berbagai hal yang antara lain : pertama, upaya memenuhi kebutuhan manusia yang ditopang dengan kemampuan daya dukung ekosistem; kedua, upaya peningkatan mutu kehidupan manusia dengan cara melindungi dan menjaga keberlanjutannya; ketiga, upaya meningkatkan sumber daya manusia dan alam yang akan dibutuhkan pada masa mendatang; keempat, upaya mempertemukan kebutuhan – kebutuhan manusia secara antar generasi.

Agenda Pembangunan Berkelanjutan Indonesia ( Agenda 21 Indonesia ) memuat bahwa dalam upaya mengelola agar pembangunan ekonomi Indonesia berlangsung secara berkelanjutan, dibutuhkan strategi integrasi lingkungan ke dalam pembangunan ekonomi. Strategi integrasi tersebut meliputi pertama, pengembangan pendekatan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan; kedua, pengembangan pendekatan pencegahan pencemaran; ketiga , pengembangan sistem neraca ekonomi , sumber daya alam dan lingkungan ( Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP, 1997 ).

Pembangunan berkelanjutan memerlukan proses integrasi ekonomi dan ekologi melalui upaya perumusan paradigma dan arah kebijakan yang bertumpu pada kemitraan dan partisipasi para pelaku pembangunan dalam mengelola sumber daya yang seoptimal mungkin dapat dimanfaatkan. Menarik untuk mereview tiga isu strategis pembangunan yang dulu lebih dikenal dengan istilah Trilogi Pembangunan dan memodifikasi salah satu logi ” paradigma stabilitas menjadi sustainabilitas”. Maka urutanya adalah ( 1 ) Pemerataan, ( 2 ) Pertumbuhan, ( 3 ) Sustainabilitas.

Pemerataan ( Equity ), merupakan isu strategis pemerataan menyangkut aset, proses, dan hasil pembangunan. Pemerataan aset – aset produksi seperti lahan, modal/kredit, teknologi, informasi, dan kesempatan usaha yang didukung kebijakan dan kepastian hukum, sebagai modal dasar pembangunan. Sinergi yang dicapai anatar aktor dan sektor pembangunan menjadi dasar bagi pertumbuhan dan keberlanjutan. Pertumbuhan ( Growth ), merupakan isu strategis dalam mengembangkan potensi dan mengakselerasikan dinamika pembanguan dengan memanfaatkan keunggulan sumber daya dan inovasi, guna mencapai pertumbuhan yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat. Keberlanjutan ( Sustainability ), merupakan isu strategis dalam mengharmoniskan daya dukung lingkungan dan dinamika pembangunan agar dapat dicapai manfaat antar kelompok masyarakat maupun antar generasi secara adil. ( Penulis, Staf Badan Lingkungan Hidup Kota Pontianak ).



Kamis, 10 September 2009

Pelestarian Lingkungan Menurut Perspektif Alqur’an

Oleh : Imansyah

Sungguh beruntung kaum Muslimin yang dianugerahi oleh Allah SWT sebuah pedoman hidup berupa Alqur’an yang menuntun hidupnya agar selamat dunia dan akherat. "Pada hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu dan AKU cukupkan atasmu nikmatku, dan Aku ridhai Islam sebagai aturan hidupmu." (QS. 5 : 3). Oleh karena itu aturan – aturan yang ada dalam Alqur’an mencakup semua sisi yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya. Demikian tinggi, indah dan terperinci aturan Sang Maha Rahman dan Rahim ini, sehingga bukan hanya mencakup aturan bagi sesama manusia saja, melainkan juga terhadap alam dan lingkungan hidupnya.

Dalam Islam, manusia mempunyai peranan penting dalam menjaga kelestarian alam (lingkungan hidup). Islam merupakan agama yang memandang lingkungan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keimanan seseorang terhadap Tuhannya, manifestasi dari keimanan seseorang dapat dilihat dari perilaku manusia, sebahai khalifah terhadap lingkungannya. Islam mempunyai konsep yang sangat detail terkait pemeliharaan dan kelestarian alam (lingkungan hidup).

Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk dan hamba Tuhan, sekaligus sebagai wakil (khalifah) Tuhan di muka bumi. Manusia mempunyai tugas untuk mengabdi, menghamba (beribadah) kepada Sang Pencipta (Al-Khalik). Tauhid merupakan sumber nilai sekaligus etika yang pertama dan utama dalam teologi pengelolaan lingkungan. Allah berfirman yang artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Al Baqarah: 30).

Allah berfirman yang artinya: ”Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al an’am 165).
Dalam konsep khilafah menyatakan bahwa manusia telah dipilih oleh Allah di muka bumi ini (khalifatullah fil’ardh). Sebagai wakil Allah, manusia wajib untuk bisa merepresentasikan dirinya sesuai dengan sifat-sifat Allah. Salah satu sifat Allah tentang alam adalah sebagai pemelihara atau penjaga alam (rabbul’alamin). Jadi sebagai wakil (khalifah) Allah di muka bumi, manusia harus aktif dan bertanggung jawab untuk menjaga bumi. Artinya, menjaga keberlangsungan fungsi bumi sebagai tempat kehidupan makhluk Allah termasuk manusia sekaligus menjaga keberlanjutan kehidupannya.

Manusia mempunyai hak (diperbolehkan) untuk memanfaatkan apa yang ada di muka bumi (sumber daya alam) dengan tidak melampaui batas atau berlebihan. Dalam surat Al-An’am ayat 141-142 Allah berfirman yang artinya: “Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (Al an’am: 141)”.
“Dan di antara hewan ternak itu ada yang dijadikan untuk pengangkutan dan ada yang untuk disembelih. makanlah dari rezki yang Telah diberikan Allah kepadamu, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al an’am 142). Kita diperbolehkan untuk memanfaatkan semua sumber daya yang ada di alam semesta ini dengan bijak atau dalam taraf yang tidak melampaui batas. Sehingga eksploitasi yang dilakukan tidak mengakibatkan langka dan punahnya spisies-spisies tertentu. Pemanfaatannya tidak mengganggu keseimbangan alam dan menimbulkan kerusakan alam.

Sebagai khalifah di muka bumi, manusia memiliki kewajiban melestarikan alam semesta dan lingkungan hidup dengan sebaik-baiknya. Agar hidup di dunia menjadi makmur sejahtera penuh keberkahan dan menjadi bekal di hari akhir kelak. Manusia diberi amanah untuk membuat kebaikan di muka bumi. Tanggung jawab mengelola dunia sama pentingnya dengan akherat. Hal ini secara langsung diungkapkan oleh Allah dalam salah satu firmanNya dalam surat Al a’raf ayat 56 yang kurang lebihnya berbunyi; “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Selain itu Allah juga berfirman dalam surat Ar ruum ayat 41 yang artinya; “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Ayat ini mengingatkan manusia bahwa kerusakan muka bumi, baik di laut maupun darat, merupakan akibat ulah tangan manusia. Kerusakan di muka bumi tersebut dapat ditafsirkan berupa kerusakan moral manusia dan kerusakan fisik sebagai akibat kerakusan dan keserakahan manusia. Sedangkan tangan manusia dapat dimaknai secara harfiah sebagai tangan biasa seperti kasus kemiskinan yang mengakibatkan rusaknya lingkungan pada tingkat lokal atau yang lebih ekstrim lagi adalah tangan sebagai kekuasaan yang rakus dan zalim dapat merusak lingkungan karena tak mampu mengendalikan hawa nafsu. Jadi memang tak dapat dipisahkan rentetan kerusakan, mulai kerusakan moral hingga kerusakan fisik lingkungan.
Ayat – ayat Alqur’an yang telah kita bahas diatas sebelumnya menuntut konsekwensi logis yaitu menuntut perlunya kesatuan pikiran, sikap dan perbuatan dalam posisi manusia sebagai khalifah, artinya amaliah manusia duniawi dan ukhrowi sebagai satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan .

Dan yang tak kalah pentingnya adalah untuk menekankan ”Kesolehan Lingkungan ”, bahwa menjaga dan melestarikan lingkungan merupakan bentuk ibadah dan perwujudan syukur kepada Sang Khalik. .”Apabila engkau bersyukur maka akan kutambahkan nikmatKu tapi apabila engkau ingkar, maka ingatlah sesungguhnya azabKu amat pedih.” Tidak satu pun diantara kita dapat menghitung berapa nikmat Allah SWT yang dianugerahkan kepada kita. ”Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya.” (QS. Ibrahim :34).”Dan Dia menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu lahir dan batin.” (QS. Lukman :20).”Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan ?”(QS. Ar-Rahman:13).
Peradaban manusia cenderung menempatkan manusia sebagai porosnya ( antroposentris) hingga seringkali berakibat pada pemberhalaan hawa nafsu dalam memenuhi keinginannya yang pada gilirannya dapat meninmbulkan kerusakan lingkungan. Maka manusia perlu melihat kembali kedudukan dan martabatnya sebagai khalifatullah fil ardh. Kesadaran manusia dalam perannya sebagai khalifah yang telah ditunjuk oleh Allah di muka bumi seyogyanyalah menjadikannya bertindak arif dan bijaksana dalam mengelola kekayaan alam dan bumi sehingga terhindar dari kerusakan. Dan kelestarian bumi dan lingkungan hidup tetap terjaga. ( Penulis merupakan staf Badan Lingkungan Hidup Kota Pontianak ).