Senin, 11 Januari 2010

MENANGANI BANJIR

Musim hujan telah tiba dan banjir pun seakan – akan telah menjadi tamu yang selalu datang pada daerah – daerah yang telah menjadi langganan banjir. Ironisnya, daerah yang sebelumnya tidak pernah terkena , kini harus pasrah diterjang luapan air.

Tak dapat disangkal lagi, penyebab utama banjir masih didominasi oleh ulah buruk manusia. Sebesar apapun curah hujan yang jatuh di permukaan bumi, tak akan berpengaruh buruk jika semua aspek ekologis terjaga dengan baik. Banjir, tanah longsor adalah akibat dari tidak arifnya kita mengelola lingkungan. Hutan yang gundul, semakin berkurangnya daerah resapan, berkurangnya zona hijau dan lain-lain menggambarkan betapa tidak cerdasnya kita dalam mengelola lingkungan. Keserakahan dan sifat tamak kita mengejar keuntungan sesaat membuat kita lupa tentang arti pentingnya lingkungan bagi kesinambungan kehidupan kita. Kita kurang memahami kearifan alam.
Dapat kita bayangkan, ketika hutan yang berfungsi sebagai resapan air semakin gundul. Ketika air hujan mengguyur kawasan tersebut, maka air tersebut langung turun ke tempat yang lebih rendah dengan leluasa, mengikis lapisan tanah permukaan ( run-off ) yang dilalui. Apalagi bila sungai yang dilalui buruk kondisi alirannya. Sungai – sungai penuh oleh sampah dan lumpur akibat erosi dari lahan yang dibabat hutannya.
Kebiasaan masyarakat yang menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah, menjadikan sungai semakin dangkal, sehingga air sungai mudah meluap.

Dalam skala lokal, buruknya drainase kota juga punya andil besar terjadinya banjir. Di beberapa kota seperti Pontianak saluran drainase selain menampung air hujan juga menampung air limbah dari kegiatan masyarakat, sehingga beban yang ditampung oleh saluran tersebut semakin berat. Banyak saluran pembuangan air yang tak berfungsi sebagaimana mestinya . Saluran air yang ada di kota seakan – akan menjadi bak sampah komunal yang terisi oleh sampah – sampah plastik, kaleng, kertas, daun, dan lain – lain. Maka tidalah mengherankan ketika hujan turun dengan lebatnya beberapa jam saja, kota yang telah menjadi ”hutan beton”, jalan aspal, kawasan pemukiman padat, dan daerah industri itu terendam air.

Selain itu, industrilisasi beserta kegiatan yang mengikutinya ( seperti transportasi dan gedung – gedung ber-AC ) berdampak pada efek rumah kaca ( green house effect ) yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global ( global warming ). Suhu muka air laut naik. Dan daratan beku di Benua Antartikapun meleleh. Akibatnya, tejadilah kenaikan permukaan air laut ( Sea Level Rise atau SLR ).

Menurut analisa Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional ( Bakosurtanal ), laju SLR di beberapa pulau kecil dan kota di pantai utara jawa ( seperti Jakarta, Semarang, dan Jepara ) sekitar 8 mm/tahun. Dampaknya adalah menimbulkan pembendungan di muara – muara sungai dan mulut saluran drainase terhadap air tawar yang datang dari daratan. Jika hal ini disertai dengan curah hujan yang tinggi, banjir pun menjadi kian hebat.

Kondisi ini diperparah oleh muara – muara sungai di Indonesia yang umumnya landai. Pembendungan tersebut membuat kecepatan air sungai berkurang. Akibatnya laju sedimentasi di muara akan bertambah sehingga menguragi daya tampung sungai di muara.
Bagaimana caranya kita menangani banjir ? Tidaklah mudah menangani banjir yang begitu kompleks, diperlukan strategi yang komprehensif dengan melibatkan berbagai instansi terkait dan masyarakat.

Secara filosofis, penanganan banjir dapat dilakukan dengan beberapa strategi. Pertama, menerapkan pola protektif. Pola ini dilakukan dengan membangun bangunan pengendali banjir, misalnya waduk, kolam – kolam penampungan, sumur resapan, saluran pengendali banjir, drainase, pintu air beserta instalasi pompanya, dan tanggul. Pada pola ini juga diharapkan adanya Sistem Pengendalian Drainase Terpadu Kota yang mampu mendeteksi debit dan volume air yang memasuki saluran drainase kota. Kedua, dengan pola adaptasi. Pola ini dilakukan dengan cara menyesuaikan kondisi yang terjadi misalnya dengan membuat rumah panggung atau meninggikan badan jalan yang sering tergenang banjir. Ketiga, dengan pola retreat ( mundur ), yakni dengan menyesuaikan peruntukan lahan sesuai dengan kondisi alamnya. Salah satunya, menjauhkan permukiman penduduk dari daerah rawan banjir. Diperlukaan adanya pemetaan yang akurat daerah – daerah yang rawan banjir. Upaya lainya adalah membangun Sistem Peringatan Dini Banjir. Daerah – daerah rawan banjir perlu memasang instalasi teknologi yang dapat mendeteksi curah hujan dan debit air sehingga mampu secara dini memprediksi terjadinya banjir.

Selain itu, program – program seperti Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan guna mengurangi laju erosi dan run-off ( aliran permukaan ) , Program Kali Bersih yang dapat mengurangi gangguan terhadap aliran sungai sekaligus menambah daya tampung sungai serta Program Langit Biru yang diharapkan dapat mengurangi emisi gas buang ke udara sehingga dapat menurunkan laju pemanasan global, harus sering digalakkan.
Tapi yang terpenting adalah bagaimana masyarakat dapat berperan secara aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup, masyarakat sadar sebagai bagian dari lingkungan dimana ia berada, sehingga diharapkan akan tumbuh kearifan lokal. Contoh tumbuhnya kearifan lokal dalam mengelola lingkungan , seperti yang telah ditunjukkan oleh masyarakat adat antara Desa Teriak dan Desa Temia Sio Kecamatan Teriak Kabupaten Bengkayang yang telah menetapkan Hutan Gunung Jalo sebagai Hutan Adat. Dengan melestarikan hutan masyarakat setempat dengan hukum adat yang melekat padanya memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan ekosistem hutan dan seluruh habitat yang ada didalamnya. Yang tak kalah pentingnya adalah menanamkan pendidikan lingkungan sejak dini. Perlu ditanamkan ” Kesolehan Lingkungan ”, bahwa menjaga dan melestarikan lingkungan merupakan bentuk ibadah dan perwujudan syukur kepada Sang Khalik. . (Penulis adalah staf Badan Lingkungan Hidup Kota Pontianak).

Tidak ada komentar: