Oleh : Imansyah
Siapapun orangnya pasti akan mewariskan yang terbaik bagi anak cucunya. Agar generasi setelahnya dapat hidup lebih baik dibanding dirinya. Tetapi bagaimana dengan kita ? Bagaimana dengan keadaan lingkungan kita? Akankah kita dapat mewariskannya dalam keadaan baik kepada anak cucu kita kelak ? Apa yang telah kita lakukan untuk anak cucu kita nanti ?
Telah berulangkali para agamawan, pemerhati ,ahli, cendekiawan, para akademisi lingkungan diseluruh dunia memberi peringatan kepada seluruh penduduk bumi ini akan tanggungjawabnya kepada generasi yang akan datang, akan hak – hak dasar mereka untuk mewarisi lingkungan yang sehat, baik dan terjaga kelestariannya.Secara manusiawi dan akal sehat, sangat tidak adil meninggalkan lingkungan yang rusak dan hancur bagi anak cucu kita nanti.
Pemberhalaan terhadap ekonomi membuat kita semakin rakus mengeksploitasi bumi ini seakan-akan takut tak dapat bagian atau takut keduluan yang lain.Pendewaan aspek bisnis dan kecerobohan menempatkan politik sebagai panglima ternyata telah melecehkan dimensi spritual martabat kemanusiaan kita. Manusia yang dianugrahi sebagai Khalifah di muka bumi ini ternyata telah gagal mengemban misi kekhalifahannya Misi memperlakukan alam secara bijak. Misi sebagai rahmatan lil alamin bukannya malah sebagai perusak daripada alam itu sendiri.Dengan dalilh apapun, pemakaian teknologi modern dan bahan kimia yang merusak dan tidak bikaksana seperti merkuri, arsenik, bom ikan, berbagai jenis racun-racun kimia lainnya, jelas menyengsarakan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Perlu menjadi perhatian bahwa daya dukung lingkungan merupakan pondasi bagi terselenggaranya pembangunan yang berkelanjutan. Apa yang dapat kita lihat dan rasakan sekarang ini ? Banjir yang melanda 70 % kawasan Jakarta ( 2007 ) dan kota-kota satelit sekitarnya menggambarkan betapa buruknya daya dukung lingkungan kawasan tersebut. Berkurangnya daerah resapan, hilangya kawasan hijau dan situ – situ, gundulnya hutan , pendangkalan sungai, padatnya hunian di bantaran sungai yang makin mempersempit badan sungai, pola kebiasaan membuang sampah yang tidak pada tempatnya, pembangunan – pembangunan real estate dan kawasan - kawasan yang tidak memperhatikan kaidah –kaidah lingkungan, dan sebagainya jelas – jelas memperlihatkan kepada kita betapa tidak bijaknya kita dalam memperlakukan alam ini.
Mungkin terasa aneh , kian tersebarnya informasi, wacana, kajian tentang penyelamatan lingkungan teryata kondisi kerusakan lingkungan makin parah. Sudah tak terhitung aksi, program dan publikasi tentang penyelamatan lingkungan namun kesemuanya itu ternyata kalah cepat dengan kerusakan lingkungan itu sendiri. Tak dapat dielakkan, kita dikepung oleh situasi yang penuh ironi, lingkungan yang semakin parah kerusakannya ditengah-tengah kian ramainya orang berbicara tentang penyelamatan lingkungan. Akibatnya, banjir yang menghajar wilayah-wilayah padat manusia di kawasan urban,tanah longsor, dan berbagai macam tragedi lainnya, yang suka tidak suka harus dipahami sebagai kesalahan kolektif umat manusia. "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka, sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS Al-Ruum/ 30: 41).
Secara keseluruhan, kesalahan kolektif tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua bagian :
Pertama, individu ,kelompok masyarakat dan institusi memandang pelestarian lingkungan sebagai sebuah beban, sebagai tambahan biaya yang tinggi dalam sebuah proses produksi, atau singkatnya merupakan beban finansial. Upaya penyelamatan lingkungan dipandang sebagai faktor penghalang untuk mewujudkan keuntungan yang semaksimal mungkin terutama dalam jangka pendek. Adanya kepentingan ekonomi dan politik sesaat mengakibatkan biaya penyelamatan lingkungan tidak terintegrasi dengan struktur biaya produksi ekonomi serta tidak teradopsi ke dalam politik kekuasaan.
Kedua, individu ,kelompok masyarakat dan institusi sudah terlanjur memandang seluruh sumber daya alam merupakan ” barang tak bertuan ” yang dapat diekploitasi secara bebas, kapan saja dan oleh siapa saja.
Mendesak untuk segera dilakukan adalah kebijakan sosio-ekonomi dengan payung politik yang kuat harus dikaitkan dengan isu-isu lingkungan. Upaya mencapai kemajuan dalam bidang sosial ekonomi harus berbasiskan ” enviromental policies ”, yaitu merupakan suatu kehendak untuk menjaga keseimbangan antara penggunaan sumber daya alam secara produktif dengan mengatur pola penggunaannya secara bijak serta upaya pelestariannya disatu sisi secara berkesinambungan. Yang diharapkan dapat menjamin berlangsungnya produktivitas dan pembangunan yang berkelanjutan.
Yang tak kalah pentingnya adalah menanamkan pendidikan lingkungan sejak dini.Perlu ditanamkan ” Kesolehan Lingkungan ”, bahwa menjaga dan melestarikan lingkungan meruapakan bentuk ibadah dan perwujudan syukur kepada Sang Khalik. .”Apabila engkau bersyukur maka akan kutambahkan nikmatKu tapi apabila engkau ingkar, maka ingatlah sesungguhnya azabKu amat pedih.” Tidak satu pun diantara kita dapat menghitung berapa nikmat Allah SWT yang dianugerahkan kepada kita. ”Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya.” (QS. Ibrahim :34).”Dan ,Dia menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu lahir dan batin.” (QS. Lukman :20).”Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan ?”(QS. Ar-Rahman:13). Peran tokoh agama dan pendidik serta orang tua dalam menanamkan ” Kesolehan Lingkungan ” sejak dini mutlak diperlukan. Akankah kita dapat mewariskan lingkungan ini dengan bijak ? Jawabannya terpulang dari kita sendiri. Yang dapat kita lakukan sekarang adalah ( meminjam istilah AA Gym ) mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang, mulai dari yang kecil, untuk menjaga dan melestarikan lingkungan ini. Kita pasti tidak ingin bahwa anak cucu kita nanti mengenal hutan yang lebat, gunung yang hijau, air sungai yang jernih, danau yang indah merupakan cerita dongeng pengantar tidur.
( Penulis merupakan Staf Dinas PU Kota Pontianak yang mendapat Tugas Belajar di Magister Sistem Teknik UGM Yogyakarta )
Siapapun orangnya pasti akan mewariskan yang terbaik bagi anak cucunya. Agar generasi setelahnya dapat hidup lebih baik dibanding dirinya. Tetapi bagaimana dengan kita ? Bagaimana dengan keadaan lingkungan kita? Akankah kita dapat mewariskannya dalam keadaan baik kepada anak cucu kita kelak ? Apa yang telah kita lakukan untuk anak cucu kita nanti ?
Telah berulangkali para agamawan, pemerhati ,ahli, cendekiawan, para akademisi lingkungan diseluruh dunia memberi peringatan kepada seluruh penduduk bumi ini akan tanggungjawabnya kepada generasi yang akan datang, akan hak – hak dasar mereka untuk mewarisi lingkungan yang sehat, baik dan terjaga kelestariannya.Secara manusiawi dan akal sehat, sangat tidak adil meninggalkan lingkungan yang rusak dan hancur bagi anak cucu kita nanti.
Pemberhalaan terhadap ekonomi membuat kita semakin rakus mengeksploitasi bumi ini seakan-akan takut tak dapat bagian atau takut keduluan yang lain.Pendewaan aspek bisnis dan kecerobohan menempatkan politik sebagai panglima ternyata telah melecehkan dimensi spritual martabat kemanusiaan kita. Manusia yang dianugrahi sebagai Khalifah di muka bumi ini ternyata telah gagal mengemban misi kekhalifahannya Misi memperlakukan alam secara bijak. Misi sebagai rahmatan lil alamin bukannya malah sebagai perusak daripada alam itu sendiri.Dengan dalilh apapun, pemakaian teknologi modern dan bahan kimia yang merusak dan tidak bikaksana seperti merkuri, arsenik, bom ikan, berbagai jenis racun-racun kimia lainnya, jelas menyengsarakan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Perlu menjadi perhatian bahwa daya dukung lingkungan merupakan pondasi bagi terselenggaranya pembangunan yang berkelanjutan. Apa yang dapat kita lihat dan rasakan sekarang ini ? Banjir yang melanda 70 % kawasan Jakarta ( 2007 ) dan kota-kota satelit sekitarnya menggambarkan betapa buruknya daya dukung lingkungan kawasan tersebut. Berkurangnya daerah resapan, hilangya kawasan hijau dan situ – situ, gundulnya hutan , pendangkalan sungai, padatnya hunian di bantaran sungai yang makin mempersempit badan sungai, pola kebiasaan membuang sampah yang tidak pada tempatnya, pembangunan – pembangunan real estate dan kawasan - kawasan yang tidak memperhatikan kaidah –kaidah lingkungan, dan sebagainya jelas – jelas memperlihatkan kepada kita betapa tidak bijaknya kita dalam memperlakukan alam ini.
Mungkin terasa aneh , kian tersebarnya informasi, wacana, kajian tentang penyelamatan lingkungan teryata kondisi kerusakan lingkungan makin parah. Sudah tak terhitung aksi, program dan publikasi tentang penyelamatan lingkungan namun kesemuanya itu ternyata kalah cepat dengan kerusakan lingkungan itu sendiri. Tak dapat dielakkan, kita dikepung oleh situasi yang penuh ironi, lingkungan yang semakin parah kerusakannya ditengah-tengah kian ramainya orang berbicara tentang penyelamatan lingkungan. Akibatnya, banjir yang menghajar wilayah-wilayah padat manusia di kawasan urban,tanah longsor, dan berbagai macam tragedi lainnya, yang suka tidak suka harus dipahami sebagai kesalahan kolektif umat manusia. "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka, sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS Al-Ruum/ 30: 41).
Secara keseluruhan, kesalahan kolektif tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua bagian :
Pertama, individu ,kelompok masyarakat dan institusi memandang pelestarian lingkungan sebagai sebuah beban, sebagai tambahan biaya yang tinggi dalam sebuah proses produksi, atau singkatnya merupakan beban finansial. Upaya penyelamatan lingkungan dipandang sebagai faktor penghalang untuk mewujudkan keuntungan yang semaksimal mungkin terutama dalam jangka pendek. Adanya kepentingan ekonomi dan politik sesaat mengakibatkan biaya penyelamatan lingkungan tidak terintegrasi dengan struktur biaya produksi ekonomi serta tidak teradopsi ke dalam politik kekuasaan.
Kedua, individu ,kelompok masyarakat dan institusi sudah terlanjur memandang seluruh sumber daya alam merupakan ” barang tak bertuan ” yang dapat diekploitasi secara bebas, kapan saja dan oleh siapa saja.
Mendesak untuk segera dilakukan adalah kebijakan sosio-ekonomi dengan payung politik yang kuat harus dikaitkan dengan isu-isu lingkungan. Upaya mencapai kemajuan dalam bidang sosial ekonomi harus berbasiskan ” enviromental policies ”, yaitu merupakan suatu kehendak untuk menjaga keseimbangan antara penggunaan sumber daya alam secara produktif dengan mengatur pola penggunaannya secara bijak serta upaya pelestariannya disatu sisi secara berkesinambungan. Yang diharapkan dapat menjamin berlangsungnya produktivitas dan pembangunan yang berkelanjutan.
Yang tak kalah pentingnya adalah menanamkan pendidikan lingkungan sejak dini.Perlu ditanamkan ” Kesolehan Lingkungan ”, bahwa menjaga dan melestarikan lingkungan meruapakan bentuk ibadah dan perwujudan syukur kepada Sang Khalik. .”Apabila engkau bersyukur maka akan kutambahkan nikmatKu tapi apabila engkau ingkar, maka ingatlah sesungguhnya azabKu amat pedih.” Tidak satu pun diantara kita dapat menghitung berapa nikmat Allah SWT yang dianugerahkan kepada kita. ”Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya.” (QS. Ibrahim :34).”Dan ,Dia menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu lahir dan batin.” (QS. Lukman :20).”Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan ?”(QS. Ar-Rahman:13). Peran tokoh agama dan pendidik serta orang tua dalam menanamkan ” Kesolehan Lingkungan ” sejak dini mutlak diperlukan. Akankah kita dapat mewariskan lingkungan ini dengan bijak ? Jawabannya terpulang dari kita sendiri. Yang dapat kita lakukan sekarang adalah ( meminjam istilah AA Gym ) mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang, mulai dari yang kecil, untuk menjaga dan melestarikan lingkungan ini. Kita pasti tidak ingin bahwa anak cucu kita nanti mengenal hutan yang lebat, gunung yang hijau, air sungai yang jernih, danau yang indah merupakan cerita dongeng pengantar tidur.
( Penulis merupakan Staf Dinas PU Kota Pontianak yang mendapat Tugas Belajar di Magister Sistem Teknik UGM Yogyakarta )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar