Minggu, 11 Mei 2008

HUTANKU SAYANG, HUTANKU MALANG

Oleh : Imansyah

Terungkapnya kasus penyelundupan kayu di Kabupaten Ketapang , Kalimantan Barat, baru – baru ini ( 2008 ) dengan barang bukti 12 ribu meter kubik kayu yang diperkirakan bernilai lebih dari 200 milyar rupiah, kembali membuat kita mengurut dada.

Kasus besar yang langsung ditangani Mabes Polri ini membuktikan bahwa jaringan penyelundupan kayu ilegal di daerah ini merupakan “lingkaran setan” yang sulit diberantas karena melibatkan aparat dan penduduk setempat. Ada apa dengan hutanku yang sudah semakin merana ini ? Oh hutanku sayang, hutanku malang ! Apakah karena alasan perut sudah dapat dijadikan suatu pembenaran untuk menjarah kayu dari hutan – hutan ini seenaknya tanpa harus memperhatikan keseimbangan ekologinya ? Mengapa begitu mudahnya kayu – kayu tersebut lolos ke luar negeri seakan – akan tanpa hambatan ditengah gencar – gencarnya perang terhadap illegal logging yang dicanangkan langsung oleh pemerinath ? Ada apa dengan aparat yang seharusnya menjadi ujung tombak terdepan dalam perang terhadap illegal logging tersebut ? Ditetapkannya status tersangka beberapa Perwira Kepolisian Polres Ketapang dan Pejabat Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang semakin memperjelas kenapa penyelundupan kayu yang sudah berlangsung lama tersebut seakan – akan tak terjamah hukum. Selain itu kebiasaan penduduk lokal yang lebih memilih cara instan untuk mendapatkan uang daripada mengolah alam karena bisnis kayu ilegal cukup menggiurkan dan cara termudah mendapatkan uang. Tebang dan dapat uang, praktis dan tak perlu repot – repot. Peluang ini dengan sangat jeli dimanfaatkan oleh cukong – cukong dan kaki tangannya untuk meraup keuntungan yang sebesar – besarnya dengan memperalat penduduk lokal.

Mungkin terasa aneh , kian tersebarnya informasi, wacana, kajian tentang penyelamatan hutan teryata kondisi kerusakan hutan kita makin parah. Sudah tak terhitung aksi, program dan publikasi tentang penyelamatan dan pelestarian hutan namun kesemuanya itu ternyata kalah cepat dengan kerusakan hutan itu sendiri. Tak dapat dielakkan, kita dikepung oleh situasi yang penuh ironi, lingkungan yang semakin parah kerusakannya ditengah-tengah kian ramainya orang berbicara tentang penyelamatan lingkungan. Akibatnya, banjir yang menghajar wilayah-wilayah padat manusia di kawasan urban,tanah longsor, dan berbagai macam tragedi lainnya, yang suka tidak suka harus dipahami sebagai kesalahan kolektif umat manusia. "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka, sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS Al-Ruum/ 30: 41).

Secara keseluruhan, kesalahan kolektif tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua bagian :
Pertama, individu ,kelompok masyarakat dan institusi memandang pelestarian lingkungan atau hutan sebagai sebuah beban, sebagai tambahan biaya yang tinggi dalam sebuah proses produksi, atau singkatnya merupakan beban finansial. Upaya penyelamatan lingkungan atau hutan dalam kasus ini dipandang sebagai faktor penghalang untuk mewujudkan keuntungan yang semaksimal mungkin terutama dalam jangka pendek. Adanya kepentingan ekonomi dan politik sesaat mengakibatkan biaya penyelamatan lingkungan tidak terintegrasi dengan struktur biaya produksi ekonomi serta tidak teradopsi ke dalam politik kekuasaan.
Kedua, individu ,kelompok masyarakat dan institusi sudah terlanjur memandang seluruh sumber daya alam termasuk hutan merupakan ” barang tak bertuan ” yang dapat diekploitasi secara bebas, kapan saja dan oleh siapa saja.

Bagaimanapun juga pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan penduduk yang bermukim disekitar kawasan hutan harus mendapatkan prioritas. Terbukanya lapangan kerja dan peluang usaha di luar kegiatan illegal logging disertai penegakkan hukum yang tegas tanpa pandang bulu merupakan dua mata uang yang harus berjalan beriringan. Penindakan hukum yang tegas tanpa adanya solusi untuk memecahkan persoalan pasca penertiban illegal logging malah akan menambah masalah . Ingat perut tak bisa menunggu. Menurut informasi yang penulis dapatkan dari harian Equator Pontianak , pasca penertiban illegal logging banyak sawmill – sawmill yang tutup, yang berarti semakin banyaknya pengangguran di daerah ini yang tentu saja dapat memicu kerawanan social.

Kalau di Malaysia telah membuat pogram wisata hutan sebagai salah satu andalan parawisata mereka, kenapa kita tidak mencobanya. Dengan membenahi infrastruktur dan pengelolaan hutan yang baik, keamanan yang terjamin ,promosi yang tepat, akan dapat mendatangkan wisatawan yang tentu saja akan membuka lapangan kerja di bidang ini. Bukankah hutan kita kaya akan keanekaragam hayati yang pasti merupakan daya tarik tersendiri bagi pencinta wisata alam. Kemudian yang tak kalah menariknya mengembangkan proyek Clean Development Mechanism ( CDM ) dalam hal pengelolan dan pelestarian hutan, hutan yang kita jaga merupakan paru – paru dunia sehingga masyarakat dunia harus membayar kepada kita melalui suatu tata niaga yang diatur dalam program CDM ini. Masyarakat setempat dan Pemerintah Daerah harus mendapatkan manfaat dalam program CDM ini dan bukan hanya jadi penonton. Ini hanya salah satu contoh, bahwa tanpa merusak hutanpun, kita dapat mendatangkan devisa.
Kemudian memberdayakan masyarakat setempat dalam pelestarian hutan.

Ada beberapa strategi yang dapat ditempuh untuk memberdayakan masyarakat dalam menjaga hutan :
1. Mengembangkan komunikasi dengan tokoh-tokoh masyarakat yang mampu menyampaikan pesan pemberdayaan masyarakat dalam menjaga dan melestarikan hutan.
2. Mengembangkan kerjasama yang intensif dengan media massa dalam hal sosialisasi dan pemberitaan mengenai peran serta kelompok masyarakat dalam menjaga dan melestarikan hutan .
3. Memberikan apresiasi terhadap kelompok masyarakat yang berhasil menjaga dan melestarikan hutan di lingkungannya.
4. Pengintegrasian aliansi mitra strategis ke dalam program lingkungan dilakukan melalui pendekatan yang melibatkan peran kelompok masyarakat secara aktif. Hal tersebut dilaksanakan dengan cara memberikan dukungan dan pengakuan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai potensi tawar (barganing power) dalam hal isu pelestarian hutan.
Mendesak untuk segera dilakukan adalah kebijakan sosio-ekonomi dengan payung politik yang kuat harus dikaitkan dengan isu-isu lingkungan. Upaya mencapai kemajuan dalam bidang sosial ekonomi harus berbasiskan ” enviromental policies ”, yaitu merupakan suatu kehendak untuk menjaga keseimbangan antara penggunaan sumber daya alam secara produktif termasuk hutan dengan mengatur pola penggunaannya secara bijak serta upaya pelestariannya disatu sisi secara berkesinambungan. Yang diharapkan dapat menjamin berlangsungnya produktivitas dan pembangunan yang berkelanjutan.

Yang tak kalah pentingnya adalah menanamkan pendidikan lingkungan sejak dini.Perlu ditanamkan ” Kesolehan Lingkungan ”, bahwa menjaga dan melestarikan lingkungan meruapakan bentuk ibadah dan perwujudan syukur kepada Sang Khalik. .”Apabila engkau bersyukur maka akan kutambahkan nikmatKu tapi apabila engkau ingkar, maka ingatlah sesungguhnya azabKu amat pedih.” Tidak satu pun diantara kita dapat menghitung berapa nikmat Allah SWT yang dianugerahkan kepada kita. ”Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya.” (QS. Ibrahim :34).”Dan ,Dia menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu lahir dan batin.” (QS. Lukman :20).”Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan ?”(QS. Ar-Rahman:13). Peran tokoh agama dan pendidik serta orang tua dalam menanamkan ” Kesolehan Lingkungan ” sejak dini mutlak diperlukan. Akankah kita dapat mewariskan lingkungan ini dengan bijak ? Akankan hutanku tetap hutanku yang malang ? Jawabannya terpulang dari kita sendiri. Yang dapat kita lakukan sekarang adalah ( meminjam istilah AA Gym ) mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang, mulai dari yang kecil, untuk menjaga dan melestarikan lingkungan atau hutan ini. Kita pasti tidak ingin bahwa anak cucu kita nanti mengenal hutan yang lebat, gunung yang hijau, air sungai yang jernih, danau yang indah merupakan cerita dongeng pengantar tidur.
( Penulis merupakan Pemerhati Lingkungan, Mahasiswa Magister Sistem Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta peserta Training Program di Universitas Hogskolan I Boras, Swedia ).

Tidak ada komentar: