Oleh : Imansyah
Semakin dekatnya gawe Pilkada, dapat kita lihat semakin seringnya para calon pemimpin kita turun ke daerah – daerah . Bahkan di daerah yang sangat terpencilpun, tak luput dari kunjungan sang calon. Berbagai macam janji dan program mereka tawarkan untuk menarik simpati. ” Keadilan” merupakan salah satu kosa kata yang sepertinya harus atau paling tidak wajib untuk diucapkan.” Demi pemerataan pembangunan dan pemenuhan rasa keadilan,maka................ ” , merupakan salah satu contoh kalimat yang sudah tidak asing lagi bahkan mungkin wajib diucapkan, apakah itu untuk Pilkada, Pemilu Legislatif bahkan pada Pemilu untuk memilih presiden.
Keadilan, sebuah kata yang mudah diucapkan namun teramat sulit untuk diwujudkan. Teriakan untuk menegakkan keadilan di Indonesia, bukan hanya dimonopoli oleh para pakar di mimbar – mimbar keilmuan namun akhir – akhir ini sudah menjadi buah bibir di kalangan rakyat kecil sampai ke warung kopi.
Bagaimana mungkin mengharapkan keadilan ditengah riuh rendahnya suara seluruh komponen bangsa yang mengharapkan hukum dijalankan tanpa tebang pilih dan keadilan ditegakkan tanpa pamrih, pabila keadilan hanya menjadi buah bibir atau sekedar basa – basi . Bagaimana nasib bangsa ini ke depan jika kepastian hukum hanya menjadi kosmetik. Lebih tragis lagi, bagaimana mungkin menegakkan keadilan di republik yang menjadi sorganya para koruptor dengan retorika hukum, dan mengabaikan hati nurani keadilan ?
Sangat ironis sekali, di negeri yang berazaskan Pancasila ini yang salah satu silanya, ” Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, antrian panjang untuk mendapatkan sekian liter minyak tanah sudah menjadi pemandangan biasa, namun pada kejadian lainnya tertangkap tangannya anngota DPR dalam kasus suap, yang merupakan orang yang diberi amanah untuk mengurus masalah rakyat. Peristiwa miris, yang membuat kita mengurut dada. Ada apa ini ?
Keadilan sangat mustahil ditegakkan tanpa adanya keteladanan. Sudah siapkah para pemimpin negeri ini menjadi teladan yang patut untuk diteladani. Apa yang dikatakan Rasulullah ,” Kalau Fatimah putriku mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.” Rasulullah menegakkan keadilan mulai dari keluarganya sendiri . Atau pada kisah lainnya bagaimana Khalifah Umar bin Khatab memikul sendiri sekarung gandum untuk dibawa ke rumah seorang penduduknya yang kelaparan karena tidak memiliki sesuatu apapun untuk dimakan. Atau kisah begitu sejahteranya rakyat pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Azis, karena beliau terkenal adil dalam memerintah. Kita semua rindu akan pemimpin yang mampu berbuat adil dan menegakkan keadilan. Disaat bangsa ini sudah terjangkit wabah korupsi yang demikian kronis, masih adakah harapan akan hadirnya seorang pemimpin dengan keteladanan dan citra kenegarawan yang menjunjung tinggi penegakkan hukun dan keadilan ?
Tak dapat kita pungkiri lagi, budaya global dan hedonisme telah menciptakan semacam ” rangsangan materi ” yang luar biasa bagi bangsa ini. Kita telah digiring bahwa ukuran sukses seseorang adalah seberapa banyak harta yang telah didapatkannya. Ukuran materi sebagai garis finish. Sukses diukur dari berapa banyak harta yang ditumpuk, tabungan deposito, jumlah perusahaan, apartemen dan mobil mewah, serta sederet jabatan dengan berbagai fasilitas yang didapatkan dan gelar yang kita sandang, meskipun dengan sedikit bahkan mungkin tanpa kontribusi sosial dan tanpa manfaat apapun bagi orang-orang miskin. Rangsangan materi itulah yang membuat kita semakin miskin akan ”nilai-nilai spritual” dan semakin kering akan ”empati” atau semakin kehilangan nilai-nilai kemanusiaan.
Budaya permisif, membuat sebagian kita yang memiliki jabatan tertentu merasa sah – sah saja atau wajar-wajar saja menerima fee dari proyek yang sesungguhnya merupakan sebuah amanah .Tanpa terasa, kita begitu lahap memakan barang – barang yang kita sendiri ragu antara halal dan haram, menyantap dengan rakus, hanya karena takut tak dapat bagian dan kesempatan. Bahkan kadang – kadang menyikut, menendang, dan menjilat agar berada pada posisi yang kita inginkan. Kita semakin tidak menghargai harta halal yang kita dapatkan dari keringat sendiri biarpun cuma sekilo beras. Semakin terbiasa kita menciderai rasa keadilan, melecehkan orang-orang miskin, mengganggap biasa kezaliman dan penindasan.
Sudah begitu banyak undang-undang, peraturan-peraturan, lembaga atau badan pengawas, yang menghabiskan anggaran yang tidak kecil. Tapi apa yang terjadi di lapangan ? Kata-kata seperti semuanya bisa diatur, hanya sekedar kesalahan administratif, temuan ini akan segera kita konsultasikan dengan pimpinan, dan mungkin banyak kata lainnya yang menjadi lumrah. Seorang bawahan yang tidak kuat menahan tekanan harus melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hati nuraninya karena adanya kata-kata ” mengamankan kebijakan pimpinan ” atau”demi loyalitas”. Kasus jual beli perkara, mafia peradilan, loyonya aparat penegak hukum menghadapi mafia kelas kakap, merupakan hal – hal yang sering kita lihat di lapangan. Bagaimana mungkin kita bisa menyapu lantai dengan bersih jika sapunya sendiri kotor ?
Sebagai manusia, kita memang butuh materi dan prestasi. Tapi akan menjadi sangat naif dan menyedihkan apabila jika sebagai pemimpin atau penguasa negeri ini malah menumpuk materi lantas menepuk dada dan bertepuk tangan untuk diri sendiri meskipun tanpa kontribusi apapun kepada rakyatnya sendiri. Jika keadilan hanya sekedar basa-basi untuk rakyat kecil dan jutaan orang miskin, bencana apalagi yang akan menimpa negeri ini ?( Penulis merupakan mahasiswa Magister Sistem Teknik UGM).
Keadilan, sebuah kata yang mudah diucapkan namun teramat sulit untuk diwujudkan. Teriakan untuk menegakkan keadilan di Indonesia, bukan hanya dimonopoli oleh para pakar di mimbar – mimbar keilmuan namun akhir – akhir ini sudah menjadi buah bibir di kalangan rakyat kecil sampai ke warung kopi.
Bagaimana mungkin mengharapkan keadilan ditengah riuh rendahnya suara seluruh komponen bangsa yang mengharapkan hukum dijalankan tanpa tebang pilih dan keadilan ditegakkan tanpa pamrih, pabila keadilan hanya menjadi buah bibir atau sekedar basa – basi . Bagaimana nasib bangsa ini ke depan jika kepastian hukum hanya menjadi kosmetik. Lebih tragis lagi, bagaimana mungkin menegakkan keadilan di republik yang menjadi sorganya para koruptor dengan retorika hukum, dan mengabaikan hati nurani keadilan ?
Sangat ironis sekali, di negeri yang berazaskan Pancasila ini yang salah satu silanya, ” Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, antrian panjang untuk mendapatkan sekian liter minyak tanah sudah menjadi pemandangan biasa, namun pada kejadian lainnya tertangkap tangannya anngota DPR dalam kasus suap, yang merupakan orang yang diberi amanah untuk mengurus masalah rakyat. Peristiwa miris, yang membuat kita mengurut dada. Ada apa ini ?
Keadilan sangat mustahil ditegakkan tanpa adanya keteladanan. Sudah siapkah para pemimpin negeri ini menjadi teladan yang patut untuk diteladani. Apa yang dikatakan Rasulullah ,” Kalau Fatimah putriku mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.” Rasulullah menegakkan keadilan mulai dari keluarganya sendiri . Atau pada kisah lainnya bagaimana Khalifah Umar bin Khatab memikul sendiri sekarung gandum untuk dibawa ke rumah seorang penduduknya yang kelaparan karena tidak memiliki sesuatu apapun untuk dimakan. Atau kisah begitu sejahteranya rakyat pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Azis, karena beliau terkenal adil dalam memerintah. Kita semua rindu akan pemimpin yang mampu berbuat adil dan menegakkan keadilan. Disaat bangsa ini sudah terjangkit wabah korupsi yang demikian kronis, masih adakah harapan akan hadirnya seorang pemimpin dengan keteladanan dan citra kenegarawan yang menjunjung tinggi penegakkan hukun dan keadilan ?
Tak dapat kita pungkiri lagi, budaya global dan hedonisme telah menciptakan semacam ” rangsangan materi ” yang luar biasa bagi bangsa ini. Kita telah digiring bahwa ukuran sukses seseorang adalah seberapa banyak harta yang telah didapatkannya. Ukuran materi sebagai garis finish. Sukses diukur dari berapa banyak harta yang ditumpuk, tabungan deposito, jumlah perusahaan, apartemen dan mobil mewah, serta sederet jabatan dengan berbagai fasilitas yang didapatkan dan gelar yang kita sandang, meskipun dengan sedikit bahkan mungkin tanpa kontribusi sosial dan tanpa manfaat apapun bagi orang-orang miskin. Rangsangan materi itulah yang membuat kita semakin miskin akan ”nilai-nilai spritual” dan semakin kering akan ”empati” atau semakin kehilangan nilai-nilai kemanusiaan.
Budaya permisif, membuat sebagian kita yang memiliki jabatan tertentu merasa sah – sah saja atau wajar-wajar saja menerima fee dari proyek yang sesungguhnya merupakan sebuah amanah .Tanpa terasa, kita begitu lahap memakan barang – barang yang kita sendiri ragu antara halal dan haram, menyantap dengan rakus, hanya karena takut tak dapat bagian dan kesempatan. Bahkan kadang – kadang menyikut, menendang, dan menjilat agar berada pada posisi yang kita inginkan. Kita semakin tidak menghargai harta halal yang kita dapatkan dari keringat sendiri biarpun cuma sekilo beras. Semakin terbiasa kita menciderai rasa keadilan, melecehkan orang-orang miskin, mengganggap biasa kezaliman dan penindasan.
Sudah begitu banyak undang-undang, peraturan-peraturan, lembaga atau badan pengawas, yang menghabiskan anggaran yang tidak kecil. Tapi apa yang terjadi di lapangan ? Kata-kata seperti semuanya bisa diatur, hanya sekedar kesalahan administratif, temuan ini akan segera kita konsultasikan dengan pimpinan, dan mungkin banyak kata lainnya yang menjadi lumrah. Seorang bawahan yang tidak kuat menahan tekanan harus melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hati nuraninya karena adanya kata-kata ” mengamankan kebijakan pimpinan ” atau”demi loyalitas”. Kasus jual beli perkara, mafia peradilan, loyonya aparat penegak hukum menghadapi mafia kelas kakap, merupakan hal – hal yang sering kita lihat di lapangan. Bagaimana mungkin kita bisa menyapu lantai dengan bersih jika sapunya sendiri kotor ?
Sebagai manusia, kita memang butuh materi dan prestasi. Tapi akan menjadi sangat naif dan menyedihkan apabila jika sebagai pemimpin atau penguasa negeri ini malah menumpuk materi lantas menepuk dada dan bertepuk tangan untuk diri sendiri meskipun tanpa kontribusi apapun kepada rakyatnya sendiri. Jika keadilan hanya sekedar basa-basi untuk rakyat kecil dan jutaan orang miskin, bencana apalagi yang akan menimpa negeri ini ?( Penulis merupakan mahasiswa Magister Sistem Teknik UGM).
1 komentar:
Semoga para pemimpin dan calon pemimpin kita dapat menjadi teladan yg baek ditengah2 terpuruknya negara kita.
Posting Komentar