Pelaksanaan ibadah haji merupakan rukun Islam yang relatif berat, diperlukan fisik, psikis serta finansial yang cukup, tak heran jika amalan haji disebut sebagai jihad fi sabilillah tanpa senjata, karena untuk pelaksanaan ibadah ini perlu persiapan matang dimulai dari niat yang suci karena Allah SWT, hingga sampai pada pelaksanaan manasik di lapangan.
Walaupun semua ibadah syarat utama mendapat qobul oleh Allah SWT harus dengan lillahi (ikhlas semata karena Allah), namun tidak ditemukan dalam teks perintah pelaksanaan keagamaan dalam Al-Quran dan Sunnah Nabawiyah adanya penekanan kata lillah, seperti yang terdapat dalam perintah melaksanakan ibadah haji, lihat firman Allah SWT,“ Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah (Al-Baqarah:196), juga firman-Nya” Menunaikan haji adalah kewajiban manusia bagi Allah, yaitu bagi orang yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah (QS. Ali Imran:97).
Begitu juga dalam sabda Baginda Rasul SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,” Barang siapa yang menunaikan ibadah haji karena Allah, dengan tidak rafats (ucapan kotor) dan tidak fasik (melakukan tindakan yang dilarang oleh agama atau keluar dari ketaatan) niscaya orang itu kembali seperti seorang bayi yang baru dilahirkan ibunya”. Jelas larangan yang tertera dalam hadits bukan hanya waktu haji dan di tanah suci saja, tapi larangan dimaksud adalah universal kapan dan di mana saja, cuma saja dalam waktu pelaksanaan ibadah haji lebih diharamkan.
Dari ayat dan hadits terdapat kriteria, syarat bagi yang ingin mendapatkan ampunan Tuhan laksana bayi yang baru dilahirkan hendaklah menunaikan ibadah haji dengan penuh keihlasan mengharapkan ridha-Nya, memenuhi tuntunan manasiknya, serta menjauhkan dari rafats dan kefasikan, langkah ini yang insya Allah menjadikan seorang mendapatkan ampunan Tuhan dan Sorga-Nya.
Dilihat dari betapa agung dan beratnya amalan haji, tak heran ibadah dimaksud disebut sebagai Haji Akbar. Sayangnya di sana ada asumsi yang masih beredar dan dipahami oleh sebagian orang yaitu bahwa maksud dari haji akbar adalah haji di mana wukuf di Arafah jatuh pada hari Juma’t, tidak hanya itu yang lebih ekstrim lagi asumsi bahwa jika jatuh wukuf hari jumat maka pahalanya menjadi 70 kali lipat dibanding dengan haji biasa, atau seolah-olah pelaksanaan hajinya bersama Rasul SAW. Akibat asumsi ini banyak yang beranggapan bahwa haji yang bukan wukuf hari Jumat tidak disebut haji akbar dan tak sedikit orang yang tadinya tidak berniat haji karena anggapan tersebut menjadi mendadak menunaikan haji, karena ada kebanggaan tersendiri, Tepatkah anggapan tersebut?
Tidak dipungkiri bahwa jika terjadinya wukuf bertepatan dengan hari Jum’at mempunyai keistimewaan tersendri karena hari Jum’at adalah hari yang paling istimewa di antara hari-hari lainnya.
Imam Ibn Qayyim al-Jauziah, dalam kitabnya Zadul Ma’ad fi hadyi khairil Ibaad menuturkan bahwa di antara keistimewaan wukuf yang terjadi pada hari Jum’at yaitu; Pertemuan antara dua hari terbaik, hari Arafah dan hari Jum’at; Bertepatan dengan hari wukufnya Rasul SAW saat melaksanakan haji Wada (hari Jum’at); Hari di mana do’a (lebih) dikabulkan; Hari berkumpulnya umat Islam di masjid-masjid seluruh dunia bertepatan dengan kumpulnya para hujjaj di padang Arafah; Hari di mana Allah SWT mendeklarasikan telah menyempurnakan agama-Nya dengan menurunkan ayat” Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Aku ridhai Islam menjadi agamamu (QS. Al-Maidah:3).
Kembali terhadap asumsi bahwa wukuf bertepatan pada hari jum’at disebut haji akbar merupakan pendapat yang keliru karena tidak berdasarkan pada sandaran Al-Quran, Sunah Rasul SAW bahkan tak ada pendapat sahabat Rasul SAW yang mengatakan demikian. Satu-satunya ayat yang menyebut tentang Haji Akbar dalam Al-Quran yaitu firman Allah SWT “Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari Haji Akbar”. Altaubah:3).
Maksud dari kata haji akbar seperti yang terdapat dalam tafsir Al-Munir karya Dr. Wahbah al-Zuhaili mengutip pendapat para ulama diantaranya pendapat Ibn Mas’ud, salah satu pendapat Ibn Abbas, Mughirah bin Syu’bah, Imam Malik dan lainnya bahwa maksud dari Haji Akbar yaitu Hari Nahar (Iedul Adha atau Hari Raya Qurban yang jatuh pada 10 Dzulhijjah). Sedangkan menurut pendapat Ibn Abbas yang lain, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Imam Hanafi dan Imam Syafi’i mengatakan bahwa yang dimaksud Haji Akbar yaitu Hari Arafah (9 Dzulhijjah). Hal ini diperkuat pula dengan pendapat Imam Atha dan Imam Mujahid yang mengatakan bahwa Haji Akbar adalah yang pelaksanaannya ada wukuf di Arafah dan Haji Ashgar yaitu Umrah. (disingkat dari tafsir al-Munir:10/103).
Tampaknya penyebutan Haji Akbar untuk amalan haji merupakan upaya membedakan antara haji dan Umrah, karena sebutan Haji Ashghar yaitu Umrah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa ibadah haji semuanya adalah Akbar. Ada pendapat lain yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani, bahwa para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari haji asghar, mayoritas ulama berpendapat bahwa haji ashgar adalah adalah umrah, namun ada juga yang mengatakan bahwa haji ashgar adalah Hari Arafah dan haji akbar adalah Hari Nahar, kerena disitu kesempurnaan seluruh amalan manasik haji.
Satu hal yang patut diingat bahwa untuk mendapatkan maghfirah Tuhan seperti bayi yang baru dilahirkan adalah untuk tetap untuk melunasi kawajiban-kewajiban yang melekat pada pundak orang yang berhaji. Seperti memiliki harta orang lain atau milik umum (negara) yang diperoleh secara illegal harus segera dikembalikan, melukai dan menzalimi sesama harus dimintakan maaf, hutang juga mesti dilunasi, paling tidak kalau belum sempat menunasi agar meminta untuk ditangguhkan oleh yang berpiutang. Begitu juga juga kewajiban finansial lain seperti zakat harus ditunaikan. Shalat-shalat wajib yang barangkali tertinggal haruslah segera diqadha (ditunaikan), pendeknya semua kewajiban-kewajiban harus diselesaikan, karena amalan haji tidak bisa membebaskan manusia dari kewajiban-kewajiban dimaksud. Semoga saudara-saudara kita yang menunaikan ibadah haji dan yang belum mendapatkan kesempatan pada tahun ini semuanya mendapatkan maghfirah dari Allah SWT, Amin.
Penulis tinggal di Damaskus-Suriah
Walaupun semua ibadah syarat utama mendapat qobul oleh Allah SWT harus dengan lillahi (ikhlas semata karena Allah), namun tidak ditemukan dalam teks perintah pelaksanaan keagamaan dalam Al-Quran dan Sunnah Nabawiyah adanya penekanan kata lillah, seperti yang terdapat dalam perintah melaksanakan ibadah haji, lihat firman Allah SWT,“ Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah (Al-Baqarah:196), juga firman-Nya” Menunaikan haji adalah kewajiban manusia bagi Allah, yaitu bagi orang yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah (QS. Ali Imran:97).
Begitu juga dalam sabda Baginda Rasul SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,” Barang siapa yang menunaikan ibadah haji karena Allah, dengan tidak rafats (ucapan kotor) dan tidak fasik (melakukan tindakan yang dilarang oleh agama atau keluar dari ketaatan) niscaya orang itu kembali seperti seorang bayi yang baru dilahirkan ibunya”. Jelas larangan yang tertera dalam hadits bukan hanya waktu haji dan di tanah suci saja, tapi larangan dimaksud adalah universal kapan dan di mana saja, cuma saja dalam waktu pelaksanaan ibadah haji lebih diharamkan.
Dari ayat dan hadits terdapat kriteria, syarat bagi yang ingin mendapatkan ampunan Tuhan laksana bayi yang baru dilahirkan hendaklah menunaikan ibadah haji dengan penuh keihlasan mengharapkan ridha-Nya, memenuhi tuntunan manasiknya, serta menjauhkan dari rafats dan kefasikan, langkah ini yang insya Allah menjadikan seorang mendapatkan ampunan Tuhan dan Sorga-Nya.
Dilihat dari betapa agung dan beratnya amalan haji, tak heran ibadah dimaksud disebut sebagai Haji Akbar. Sayangnya di sana ada asumsi yang masih beredar dan dipahami oleh sebagian orang yaitu bahwa maksud dari haji akbar adalah haji di mana wukuf di Arafah jatuh pada hari Juma’t, tidak hanya itu yang lebih ekstrim lagi asumsi bahwa jika jatuh wukuf hari jumat maka pahalanya menjadi 70 kali lipat dibanding dengan haji biasa, atau seolah-olah pelaksanaan hajinya bersama Rasul SAW. Akibat asumsi ini banyak yang beranggapan bahwa haji yang bukan wukuf hari Jumat tidak disebut haji akbar dan tak sedikit orang yang tadinya tidak berniat haji karena anggapan tersebut menjadi mendadak menunaikan haji, karena ada kebanggaan tersendiri, Tepatkah anggapan tersebut?
Tidak dipungkiri bahwa jika terjadinya wukuf bertepatan dengan hari Jum’at mempunyai keistimewaan tersendri karena hari Jum’at adalah hari yang paling istimewa di antara hari-hari lainnya.
Imam Ibn Qayyim al-Jauziah, dalam kitabnya Zadul Ma’ad fi hadyi khairil Ibaad menuturkan bahwa di antara keistimewaan wukuf yang terjadi pada hari Jum’at yaitu; Pertemuan antara dua hari terbaik, hari Arafah dan hari Jum’at; Bertepatan dengan hari wukufnya Rasul SAW saat melaksanakan haji Wada (hari Jum’at); Hari di mana do’a (lebih) dikabulkan; Hari berkumpulnya umat Islam di masjid-masjid seluruh dunia bertepatan dengan kumpulnya para hujjaj di padang Arafah; Hari di mana Allah SWT mendeklarasikan telah menyempurnakan agama-Nya dengan menurunkan ayat” Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Aku ridhai Islam menjadi agamamu (QS. Al-Maidah:3).
Kembali terhadap asumsi bahwa wukuf bertepatan pada hari jum’at disebut haji akbar merupakan pendapat yang keliru karena tidak berdasarkan pada sandaran Al-Quran, Sunah Rasul SAW bahkan tak ada pendapat sahabat Rasul SAW yang mengatakan demikian. Satu-satunya ayat yang menyebut tentang Haji Akbar dalam Al-Quran yaitu firman Allah SWT “Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari Haji Akbar”. Altaubah:3).
Maksud dari kata haji akbar seperti yang terdapat dalam tafsir Al-Munir karya Dr. Wahbah al-Zuhaili mengutip pendapat para ulama diantaranya pendapat Ibn Mas’ud, salah satu pendapat Ibn Abbas, Mughirah bin Syu’bah, Imam Malik dan lainnya bahwa maksud dari Haji Akbar yaitu Hari Nahar (Iedul Adha atau Hari Raya Qurban yang jatuh pada 10 Dzulhijjah). Sedangkan menurut pendapat Ibn Abbas yang lain, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Imam Hanafi dan Imam Syafi’i mengatakan bahwa yang dimaksud Haji Akbar yaitu Hari Arafah (9 Dzulhijjah). Hal ini diperkuat pula dengan pendapat Imam Atha dan Imam Mujahid yang mengatakan bahwa Haji Akbar adalah yang pelaksanaannya ada wukuf di Arafah dan Haji Ashgar yaitu Umrah. (disingkat dari tafsir al-Munir:10/103).
Tampaknya penyebutan Haji Akbar untuk amalan haji merupakan upaya membedakan antara haji dan Umrah, karena sebutan Haji Ashghar yaitu Umrah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa ibadah haji semuanya adalah Akbar. Ada pendapat lain yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani, bahwa para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari haji asghar, mayoritas ulama berpendapat bahwa haji ashgar adalah adalah umrah, namun ada juga yang mengatakan bahwa haji ashgar adalah Hari Arafah dan haji akbar adalah Hari Nahar, kerena disitu kesempurnaan seluruh amalan manasik haji.
Satu hal yang patut diingat bahwa untuk mendapatkan maghfirah Tuhan seperti bayi yang baru dilahirkan adalah untuk tetap untuk melunasi kawajiban-kewajiban yang melekat pada pundak orang yang berhaji. Seperti memiliki harta orang lain atau milik umum (negara) yang diperoleh secara illegal harus segera dikembalikan, melukai dan menzalimi sesama harus dimintakan maaf, hutang juga mesti dilunasi, paling tidak kalau belum sempat menunasi agar meminta untuk ditangguhkan oleh yang berpiutang. Begitu juga juga kewajiban finansial lain seperti zakat harus ditunaikan. Shalat-shalat wajib yang barangkali tertinggal haruslah segera diqadha (ditunaikan), pendeknya semua kewajiban-kewajiban harus diselesaikan, karena amalan haji tidak bisa membebaskan manusia dari kewajiban-kewajiban dimaksud. Semoga saudara-saudara kita yang menunaikan ibadah haji dan yang belum mendapatkan kesempatan pada tahun ini semuanya mendapatkan maghfirah dari Allah SWT, Amin.
Penulis tinggal di Damaskus-Suriah
Source : www.hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar