Rabu, 30 September 2009

DARI PEMBANGUNAN BERTUMPU PADA PERTUMBUHAN MENUJU PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Oleh : Imansyah

Kita sekarang berada di dunia yang bergerak begitu cepat. Informasi, teknologi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan bergerak tanpa mengenal batas – batas wilayah. Perubahan yang secara cepat dan mendasar yang terjadi terus menerus dimana – mana mengakibatkan kemajuan sekaligus juga ketimpangan sosial, perkembangan global sekaligus peminggiran budaya lokal, eksploitasi sumber daya sekaligus peningkatan dampak lingkungan yang kompleks. Fenomena tersebut terus berlangsung hingga akhirnya bermuara pada persoalan keadilan dan keberlanjutan masa depan. Muncul kekhawatiran akan datangnya bencana ekologi yang dapat menyebabkan hancurnya daya dukung lingkungan dan sulit untuk dipulihkan lagi. Suatu bencana yang merupakan ulah kerakusan generasi kini yang pada akhirnya akan mengurangi kemampuan hidup generasi yang akan datang.

Berangkat dari kekhawatiran tersebut, maka perlu ada pengkajian ulang paradigma pembangunan, dari paradigma yang bertumpu pada strategi pertumbuhan ( ekonomi ) menuju pembangunan berkelanjutan ( ekologi ). Menarik untuk dikaji bersama pemikiran baru mengenai integrasi ekonomi dan ekologi menuju pembangunan berkelanjutan.

Pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan dengan angka tidak menggambarkan peningkatan pemerataan yang diharapkan. Kesenjangan terjadi di kalangan masyarakat, sekelompok kecil konglomerat menguasai sebagian besar aset produktif dan sebagian besar rakyat hanya dapat mengelola aset produktif yang relatif kecil.

Modernisasi melalui paradigma pertumbuhan, disamping mendatangkan manfaat bagi sekelompok masyarakat namun juga merugikan bagi kelompok masyarakat lainnya. Kritik yang mengemuka berkaitan dengan paradoks modernisasi yang terjadi seperti pertumbuhan ekonomi versus kemerosotan ekosistem, bertumpuknya kekayaan atau kekuatan ekonomi hanya pada segelintir orang atau beberapa kelompok versus marginalisasi atau pemiskinan, globalisasi versus lokalisasi. Proyek – proyek modernisasi yang diyakini dapat menyelesaikan sejumlah masalah, ternyata malah menimbulkan masalah baru yang tak kalah pelikya.

Kecenderungan modernisasi yang menggalang akumulasi modal dan pemanfaatan alam sebesar – besarnya, dianggap memiliki dampak mendorong kerakusan manusia atas alam. Proyek besar dianggap sebagai arena pemasaran teknologi dan industri negara maju yang mengakibatkan ketergantungan dan membebani hutang luar negeri negara miskin. Disamping itu juga menjadi biang keladi tersingkirnya masyarakat kecil dan tidak jarang mengakibatkan kerusakan lingkungan.

Pembangunan sedang mencari bentuk baru, ketika realitas yang berkembang justru terjadi ancaman bencana ekologi. Krisis multi dimensi Indonesia yang terjadi sejak tahun 1997, merupakan contoh yang dapat kita rasakan betapa pembanguan yang terlalu cepat tanpa perencanaan dan pengawasan yang tepat dan cermat membawa perubahan berakibat pada hancurnya ekosistem dan tatanan sosial kemasyarakatan. Berbagai pemikiran baru dan upaya nyata sedang dilakukan dengan memaknai nilai spritual dan mencari solusinya melalui pembangunan berkelanjutan.

Ide tentang Pembangunan Berkelanjutan ( Sustainable Development ) berakar pada pemikiran untuk mengintegrasikan ekonomi dan ekologi ( WCED, 1987; Boester, 1994; Panayotue, 1994 ). Ide ini merupakan paradigma baru dalam pembangunan yang mulai diterjemahkan ke dalam berbagai konsep. Kesadaran mengenai masalah lingkungan dipicu oleh munculnya dampak negatif dari proses industrilisasi yang cenderung mengeksploitasi sumber daya alam secara besar – besaran yang menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan ( Dhakidae, 1994 ).

Berbagai isu yang berkembang mengenai lingkungan mendorong Perserikatan Bangsa – Bangsa ( PBB ) menyelenggarakan konferensi mengenai Human Environment di Stockholm tahun 1972. Konferensi ini melahirkan deklarasi The Principles of Environment and Development. Sejak pertemuan Stockholm tersebut isu mengenai lingkungan berkembang pesat mempengaruhi pergeseran paradigma pembangunan yang dianut oleh negara maju yang semula sangat mengutamakan pertumbuhan ekonomi bergeser menuju peningkatan kualitas hidup melalui pembangunan berwawasan lingkungan.

Berbagai pandangan mengenai pembangunan dan lingkungan merupakan suatu proses yang alamiah. Sebagaimana konsep tentang pembangunan, konsep tentang pembangunan berkelanjutan ini sangat beragam atau bervariasi yang dipengaruhi kondisi pembangunan maupun kepentingan suatu negara dan kelompok tertentu seperti jaringan bisnis dan komunitas lokal. Kegiatan pembangunan, baik itu ekonomi maupun sosial budaya, merupakan hubungan atau interaksi antara manusia dengan lingkungan sekitarnya ( Colby, 1990 ).

Pembangunan berkelanjutan, setidaknya membahas berbagai hal yang antara lain : pertama, upaya memenuhi kebutuhan manusia yang ditopang dengan kemampuan daya dukung ekosistem; kedua, upaya peningkatan mutu kehidupan manusia dengan cara melindungi dan menjaga keberlanjutannya; ketiga, upaya meningkatkan sumber daya manusia dan alam yang akan dibutuhkan pada masa mendatang; keempat, upaya mempertemukan kebutuhan – kebutuhan manusia secara antar generasi.

Agenda Pembangunan Berkelanjutan Indonesia ( Agenda 21 Indonesia ) memuat bahwa dalam upaya mengelola agar pembangunan ekonomi Indonesia berlangsung secara berkelanjutan, dibutuhkan strategi integrasi lingkungan ke dalam pembangunan ekonomi. Strategi integrasi tersebut meliputi pertama, pengembangan pendekatan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan; kedua, pengembangan pendekatan pencegahan pencemaran; ketiga , pengembangan sistem neraca ekonomi , sumber daya alam dan lingkungan ( Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP, 1997 ).

Pembangunan berkelanjutan memerlukan proses integrasi ekonomi dan ekologi melalui upaya perumusan paradigma dan arah kebijakan yang bertumpu pada kemitraan dan partisipasi para pelaku pembangunan dalam mengelola sumber daya yang seoptimal mungkin dapat dimanfaatkan. Menarik untuk mereview tiga isu strategis pembangunan yang dulu lebih dikenal dengan istilah Trilogi Pembangunan dan memodifikasi salah satu logi ” paradigma stabilitas menjadi sustainabilitas”. Maka urutanya adalah ( 1 ) Pemerataan, ( 2 ) Pertumbuhan, ( 3 ) Sustainabilitas.

Pemerataan ( Equity ), merupakan isu strategis pemerataan menyangkut aset, proses, dan hasil pembangunan. Pemerataan aset – aset produksi seperti lahan, modal/kredit, teknologi, informasi, dan kesempatan usaha yang didukung kebijakan dan kepastian hukum, sebagai modal dasar pembangunan. Sinergi yang dicapai anatar aktor dan sektor pembangunan menjadi dasar bagi pertumbuhan dan keberlanjutan. Pertumbuhan ( Growth ), merupakan isu strategis dalam mengembangkan potensi dan mengakselerasikan dinamika pembanguan dengan memanfaatkan keunggulan sumber daya dan inovasi, guna mencapai pertumbuhan yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat. Keberlanjutan ( Sustainability ), merupakan isu strategis dalam mengharmoniskan daya dukung lingkungan dan dinamika pembangunan agar dapat dicapai manfaat antar kelompok masyarakat maupun antar generasi secara adil. ( Penulis, Staf Badan Lingkungan Hidup Kota Pontianak ).



Kamis, 10 September 2009

Pelestarian Lingkungan Menurut Perspektif Alqur’an

Oleh : Imansyah

Sungguh beruntung kaum Muslimin yang dianugerahi oleh Allah SWT sebuah pedoman hidup berupa Alqur’an yang menuntun hidupnya agar selamat dunia dan akherat. "Pada hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu dan AKU cukupkan atasmu nikmatku, dan Aku ridhai Islam sebagai aturan hidupmu." (QS. 5 : 3). Oleh karena itu aturan – aturan yang ada dalam Alqur’an mencakup semua sisi yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya. Demikian tinggi, indah dan terperinci aturan Sang Maha Rahman dan Rahim ini, sehingga bukan hanya mencakup aturan bagi sesama manusia saja, melainkan juga terhadap alam dan lingkungan hidupnya.

Dalam Islam, manusia mempunyai peranan penting dalam menjaga kelestarian alam (lingkungan hidup). Islam merupakan agama yang memandang lingkungan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keimanan seseorang terhadap Tuhannya, manifestasi dari keimanan seseorang dapat dilihat dari perilaku manusia, sebahai khalifah terhadap lingkungannya. Islam mempunyai konsep yang sangat detail terkait pemeliharaan dan kelestarian alam (lingkungan hidup).

Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk dan hamba Tuhan, sekaligus sebagai wakil (khalifah) Tuhan di muka bumi. Manusia mempunyai tugas untuk mengabdi, menghamba (beribadah) kepada Sang Pencipta (Al-Khalik). Tauhid merupakan sumber nilai sekaligus etika yang pertama dan utama dalam teologi pengelolaan lingkungan. Allah berfirman yang artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Al Baqarah: 30).

Allah berfirman yang artinya: ”Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al an’am 165).
Dalam konsep khilafah menyatakan bahwa manusia telah dipilih oleh Allah di muka bumi ini (khalifatullah fil’ardh). Sebagai wakil Allah, manusia wajib untuk bisa merepresentasikan dirinya sesuai dengan sifat-sifat Allah. Salah satu sifat Allah tentang alam adalah sebagai pemelihara atau penjaga alam (rabbul’alamin). Jadi sebagai wakil (khalifah) Allah di muka bumi, manusia harus aktif dan bertanggung jawab untuk menjaga bumi. Artinya, menjaga keberlangsungan fungsi bumi sebagai tempat kehidupan makhluk Allah termasuk manusia sekaligus menjaga keberlanjutan kehidupannya.

Manusia mempunyai hak (diperbolehkan) untuk memanfaatkan apa yang ada di muka bumi (sumber daya alam) dengan tidak melampaui batas atau berlebihan. Dalam surat Al-An’am ayat 141-142 Allah berfirman yang artinya: “Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (Al an’am: 141)”.
“Dan di antara hewan ternak itu ada yang dijadikan untuk pengangkutan dan ada yang untuk disembelih. makanlah dari rezki yang Telah diberikan Allah kepadamu, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al an’am 142). Kita diperbolehkan untuk memanfaatkan semua sumber daya yang ada di alam semesta ini dengan bijak atau dalam taraf yang tidak melampaui batas. Sehingga eksploitasi yang dilakukan tidak mengakibatkan langka dan punahnya spisies-spisies tertentu. Pemanfaatannya tidak mengganggu keseimbangan alam dan menimbulkan kerusakan alam.

Sebagai khalifah di muka bumi, manusia memiliki kewajiban melestarikan alam semesta dan lingkungan hidup dengan sebaik-baiknya. Agar hidup di dunia menjadi makmur sejahtera penuh keberkahan dan menjadi bekal di hari akhir kelak. Manusia diberi amanah untuk membuat kebaikan di muka bumi. Tanggung jawab mengelola dunia sama pentingnya dengan akherat. Hal ini secara langsung diungkapkan oleh Allah dalam salah satu firmanNya dalam surat Al a’raf ayat 56 yang kurang lebihnya berbunyi; “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Selain itu Allah juga berfirman dalam surat Ar ruum ayat 41 yang artinya; “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Ayat ini mengingatkan manusia bahwa kerusakan muka bumi, baik di laut maupun darat, merupakan akibat ulah tangan manusia. Kerusakan di muka bumi tersebut dapat ditafsirkan berupa kerusakan moral manusia dan kerusakan fisik sebagai akibat kerakusan dan keserakahan manusia. Sedangkan tangan manusia dapat dimaknai secara harfiah sebagai tangan biasa seperti kasus kemiskinan yang mengakibatkan rusaknya lingkungan pada tingkat lokal atau yang lebih ekstrim lagi adalah tangan sebagai kekuasaan yang rakus dan zalim dapat merusak lingkungan karena tak mampu mengendalikan hawa nafsu. Jadi memang tak dapat dipisahkan rentetan kerusakan, mulai kerusakan moral hingga kerusakan fisik lingkungan.
Ayat – ayat Alqur’an yang telah kita bahas diatas sebelumnya menuntut konsekwensi logis yaitu menuntut perlunya kesatuan pikiran, sikap dan perbuatan dalam posisi manusia sebagai khalifah, artinya amaliah manusia duniawi dan ukhrowi sebagai satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan .

Dan yang tak kalah pentingnya adalah untuk menekankan ”Kesolehan Lingkungan ”, bahwa menjaga dan melestarikan lingkungan merupakan bentuk ibadah dan perwujudan syukur kepada Sang Khalik. .”Apabila engkau bersyukur maka akan kutambahkan nikmatKu tapi apabila engkau ingkar, maka ingatlah sesungguhnya azabKu amat pedih.” Tidak satu pun diantara kita dapat menghitung berapa nikmat Allah SWT yang dianugerahkan kepada kita. ”Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya.” (QS. Ibrahim :34).”Dan Dia menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu lahir dan batin.” (QS. Lukman :20).”Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan ?”(QS. Ar-Rahman:13).
Peradaban manusia cenderung menempatkan manusia sebagai porosnya ( antroposentris) hingga seringkali berakibat pada pemberhalaan hawa nafsu dalam memenuhi keinginannya yang pada gilirannya dapat meninmbulkan kerusakan lingkungan. Maka manusia perlu melihat kembali kedudukan dan martabatnya sebagai khalifatullah fil ardh. Kesadaran manusia dalam perannya sebagai khalifah yang telah ditunjuk oleh Allah di muka bumi seyogyanyalah menjadikannya bertindak arif dan bijaksana dalam mengelola kekayaan alam dan bumi sehingga terhindar dari kerusakan. Dan kelestarian bumi dan lingkungan hidup tetap terjaga. ( Penulis merupakan staf Badan Lingkungan Hidup Kota Pontianak ).