Minggu, 31 Agustus 2008

Permen Manis dan Kolesterol

Oleh Purwanti

Hampir semua anak menyukai permen. Sebaliknya, meski mungkin menyukai, biasanya orang dewasa lebih berhati-hati mengkonsumsi permen. Mereka mengkhawatirkan tingginya jumlah kalori di balik rasanya yang manis.

Demikian juga dengan kandungan lemak dalam beberapa jenis permen yang dikhawatirkan dapat menaikkan kolesterol dalam darah. Para ahli kesehatan sepakat, dalam kondisi tertentu, tubuh tetap memerlukan lemak untuk menambah energi dalam tubuh.

Jika terlalu banyak mengkonsumsi lemak, maka dapat meningkatkan risiko sakit jantung, kanker, kegemukan, diabetes, dan penyakit kronis lainnya. Tapi berdasarkan penelitian, tidak seluruh jenis lemak mengandung kolesterol. Lemak yang terdapat dalam cokelat ternyata tidak akan menaikkan kadar kolesterol dalam darah.

Hal ini dikarenakan jenis lemak cokelat berasal dari tumbuh-tumbuhan. Sebaliknya, jenis cokelat yang berasal dari hewan justru dapat meningkatkan kolesterol. Sementara itu, disebutkan kandungan kafein sebatang cokelat dengan berat 100 gram, hampir sama nilainya dengan kandungan kafein dalam secangkir decaffeinated coffee (kopi ini tetap mengandung kafein, meski jumlahnya sangat kecil).

Mitos permen

  • Permen menyumbangkan lemak dan gula yang cukup besar dalam tubuh Kenyataannya, jumlah lemak yang disumbangkan hanya sekitar dua persen dan gula sekitar 10% saja. Sebagian besar gula dalam tubuh justru bersumber dari makanan manis, kue-kue, atau hidangan pencuci mulut. Sementara itu, sumber lemak terbesar diperoleh dari daging hewan yang dimakan.
  • Makanan yang mengandung lemak tinggi dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Kenyataannya, tidak seluruh jenis lemak dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Asam stearic, unsur lemak asam utama dalam cokelat, ternyata tidak meningkatkan kadar kolesterol, karena berasal dari tumbuh-tumbuhan.
  • Kandungan kafein yang terdapat dalam 100 gram cokelat sama dengan kandungan kafein satu mangkuk kopi. Kenyataannya, kandungan kafein dalam cokelat 100 gram sama dengan kandungan kafein dalam decaffeine coffee.
  • Gula yang terdapat dalam permen dapat menyebabkan anak menjadi hiperaktif. Kenyataannya, gula ternyata sama sekali tidak dapat menyebabkan anak menjadi hiperaktif. Studi yang dilakukan Universitas Iowa dan Universitas Vanderbilt, Amerika Serikat, membuktikan gula tidak menimbulkan dampak buruk terhadap tingkah laku anak.
  • Jenis permen jelly, permen karet, dan permen padat memiliki kadar kalori yang tinggi. Kenyataannya, satu butir permen butterscotch hanya mengandung 20 kalori. Sedangkan kandungan kalori yang terdapat pada delapan permen karet atau delapan butir permen jelly sekitar 115 kalori. Apabila Anda masih ragu-ragu mengkonsumsi permen, sebaiknya periksa kadar lemak yang tercantum dalam label kemasan.
  • Jika tercantum tidak mengandung lemak, berarti produk tersebut mempunyai sedikitnya 1/2 gram lemak. Sedangkan untuk low fat berarti hanya mengandung 3 gram lemak. Jika dicantumkan reduced fat berarti kandungan lemak hanya sekitar 25% dibanding kandungan lemak dalam makanan biasa (dengan hitungan berat sajian sama).
Source : http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/?ar_id=NzE=

Sabtu, 30 Agustus 2008

Bulan Peduli Akhirat dan Alam Ghaib

Oleh Ihsan Tandjung

Ketika Allah ta’aala menggambarkan karakter bangsa Rum di dalam surah Ar-Ruum, maka kita temukan salah satunya ialah sekularistik dan materialistik. Bangsa Rum dewasa ini diwakili oleh bangsa barat umumnya, Eropa dan Amerika khususnya. Sekular dalam pengertian menyangka bahwa kehidupan hanyalah di dunia belaka. Mereka tidak memiliki wawasan ukhrowi sedikitpun. Materialis dalam pengertian hanya bisa menilai segala sesuatu berdasarkan hal-hal yang lahiriyah semata. Mereka tidak pernah tahu mengenai hadirnya perkara ghaib atau tidak tampak.

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ


“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS Ar-Ruum ayat 7)


Di antara keistimewaan bulan Ramadhan ialah peranannya sebagai reminder (pengingat) akan hadirnya kehidupan akhirat dan alam ghaib. Seorang muslim yang rajin membaca pesan-pesan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam berkenaan dengan bulan Ramadhan pasti akan menemukan begitu banyak hadits yang menguatkan hal ini.

حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ


Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu katanya: Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Apabila tiba bulan Ramadan, pintu-pintu Surga dibuka dan pintu-pintu Neraka ditutup serta syaitan-syaitan dibelenggu.” (HR Bukhary-Muslim 606)

Surga dan Neraka adalah dua tempat yang mengingatkan kita akan kehidupan akhirat. Sedangkan para syaitan dibelenggu menunjukkan betapa nyatanya kehadiran alam ghaib.

Seorang muslim beriman akan adanya kehidupan berikutnya selepas dunia fana ini. Ia yakin bahwa setelah seorang manusia meninggal dunia bukan berarti urusannya berakhir. Justeru sebaliknya, kehidupan hakiki dan abadi baru berawal. Bahkan Al-Qur’an begitu banyak memperingatkan betapa merugi orang yang menyangka hidup hanya sebatas dunia.

فَذَرْهُمْ يَخُوضُوا وَيَلْعَبُوا حَتَّى يُلَاقُوا يَوْمَهُمُ الَّذِي يُوعَدُونَ
يَوْمَ يَخْرُجُونَ مِنَ الْأَجْدَاثِ سِرَاعًا كَأَنَّهُمْ إِلَى نُصُبٍ يُوفِضُونَ
خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ ذَلِكَ الْيَوْمُ الَّذِي كَانُوا يُوعَدُونَ


“Maka biarkanlah mereka tenggelam (dalam kebatilan) dan bermain-main sampai mereka menjumpai hari yang diancamkan kepada mereka, (yaitu) pada hari mereka keluar dari kubur dengan cepat seakan-akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala (sewaktu di dunia), dalam keadaan mereka menekurkan pandangannya (serta) diliputi kehinaan. Itulah hari yang dahulunya diancamkan kepada mereka.” (QS Al-Ma’arij ayat 42-44)

Demikian pula dengan alam ghaib. Melalui Ramadhan, kita diajak untuk keluar dari sekadar urusan yang zahir atau material. Sebab tanpa iman akan perkara ghaib mustahil seseorang bisa menerima ungkapan ”... serta syaitan-syaitan dibelenggu.” Apalagi kalau kita kaitkan dengan hadits yang berbunyi sebagai berikut:


وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ


“Demi Allah yang jiwa Muhammad dalam genggaman-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah lebih wangi daripada aroma misk.” (HR Bukhary 1771)

Semua tahu bahwa di siang hari ketika seseorang sedang berpuasa niscaya aroma mulutnya menjadi tidak sedap. Hanya dengan keimanan akan adanya perkara ghaib seseorang akan menerima hadits di atas dengan kemantapan hati.

Maka, kita sayangkan masih banyaknya pimpinan muslim di berbagai kantor yang menuntut karyawannya agar tetap berprestasi dan berproduktivitas (secara duniawi) di bulan Ramadhan sama dengan prestasi dan produktivitas mereka di bulan-bulan lainnya. Bahkan kadang diharapkan lebih daripada bulan lainnya.

Ramadhan adalah bulan Pusdiklat (pusat pendidikan dan latihan) program buatan Allah ta’aala untuk meluluskan para muttaqin (orang-orang bertaqwa). Sedangkan program pusdiklat bikinan manusia saja seorang pimpinan kantorbisamemaklumi kalau para karyawannya tidak mungkin tetap berprestasi dan berproduktivitas di kantor seperti biasanya sambil mengikuti pusdiklat tersebut. Bahkan hadir di kantorpun tidak.

Terkadang godaannya muncul dari orang-orang kafir yang berkata: ”Lihat itu ummat Islam, asal sudah bulan Ramadhan, pasti prestasi mereka menurun..” Apakah kita perlu menanggapinya? TIDAK...! SEBAB KITA BUKAN MEREKA DAN MEREKA BUKAN KITA..! Kita sangat faham dan yakin adanya kehidupan lain selain dunia, kita sangat faham dan yakin adanya alam ghaib selain yang nyata dan material. Sedangkan mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai...!

Saudarakau, selamat menikmati bulan agung lagi penuh berkah, bulan Ramadhan. Selamat memanfaatkan berbagai sarana amal sholeh dan amal ibadah selama Ramadhan untuk membentuk diri menjadi muttaqin. Selamat mengokohkan dalam diri keyakinan bahwa akhirat lebih utama daripada dunia. Selamat berlomba dengan muslim lainnya merebut kapling tertinggi surga di akhirat. Selamat menyadari bahwa hidup bukanlah interaksi dengan hal-hal material-zahir belaka, melainkan meliputi urusan dengan perkara ghaib-batin pula. Tolok ukur orang bertaqwa bukan semata untung-rugi duniawi, melaikan meliputi berkah ilahi ukhrowi.


اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ


“Ya Allah, berkahilah kami di bulan Ramadhan.”

Source :http://www.eramuslim.com/atk/mks/8830162813-bulan-peduli-akhirat-dan-alam-ghaib.htm

Kamis, 28 Agustus 2008

'It's Huge. . . . Everybody Who Is Here Will Remember This for the Rest of Their Life.'

By Eli Saslow

He has drawn record crowds to the streets of Berlin and the parks of Oregon, but Thursday's finale of the Democratic National Convention proved the greatest testament yet to the intensity of Barack Obama's support and the enthusiasm for his candidacy that his party hopes will carry him to the White House.
More than 75,000 Democrats filled Denver's Invesco Field at Mile High, navigating road closures, standing in line for as long as two hours, and waiting under a hot afternoon sun to hear Obama's acceptance speech. This night, they said, was worth it.

The event was less politics than pageantry -- heralded by his campaign as an inclusive celebration typical of a candidate who has thrived on big crowds and small donors, and derided by advisers to his Republican opponent, Sen. John McCain, as theater and an exercise in indulgence.

"All I can say about the whole thing is it's huge," said Dale Lanan, an Obama supporter from Longmont, Colo., who spent more than eight hours inside the stadium. "I've never seen anything like it. Everybody who is here will remember this for the rest of their life."
The crowd that surrounded Obama spoke to the significance of the night as much as the keynote speaker. State senators leaned toward the stage to take pictures. Families in the upper deck strained to see through binoculars. Concession stands sold T-shirts inscribed with the message "I Was There to Witness History."
The Obama team has thrived by turning his campaign stops into emotional experiences for the crowd, and his advisers worked to maximize their candidate's visual impact. Obama entered a blue-carpeted stage decorated with Greek-style columns and 24 American flags. He walked down a runway and stopped at a lectern on an island. In a stadium filled nearly to capacity, he basked alone under 450 spotlights. Nobody stood within 15 yards of him.
The setup made Obama look like the star of a rock concert, and the crowd responded accordingly. At various times, the entire stadium chanted, danced and shook miniature American flags in unison. A series of megastars rotated onto the stage -- musicians John Legend and Sheryl Crow, singer/songwriter Stevie Wonder, former vice president Al Gore -- and hundreds of cameras flashed each time. The Denver Broncos have sold out this stadium for every football game in its history, but Obama's appearance offered better atmospherics than any of them, vendors and stadium officials said.
To make sure Obama never became just another in a long list of celebrity performers, his campaign continuously rolled video clips from his previous speeches on the stadium scoreboard.
"I never thought I'd see a night like this in my lifetime," said Jennifer Herrington, who drove 12 hours with her husband from Clarinda, Iowa. "We had to apply for credentials, and when we got them, we knew we would come. I mean, a part of me still can't believe we're here, at something as big as this."
Obama's campaign moved the convention away from the 17,000-seat Pepsi Center because it wanted this event to be "for the public," Obama campaign manager David Plouffe said. More than 2,000 delegates sat in lawn chairs on the stadium floor, and the bleachers filled with supporters from all 50 states -- including more than 30,000 from Colorado.
It was the biggest crowd for either party's national convention since 1960, when John F. Kennedy moved the event outside in Los Angeles to accept the Democratic nomination in front of 80,000 supporters.

Still, as McCain advisers sent out e-mails mocking the Greek pillars, Plouffe took the stage here Thursday afternoon and defended the setting. The last time Obama spoke in front of a massive audience -- 200,000 in Berlin -- the images became part of a McCain ad that cast Obama as "the world's biggest celebrity."
"Some of our friends in the McCain campaign seem puzzled why we moved the last night here," Plouffe said from the lectern. "I think it's time we taught them a lesson about how to organize and run conventions. . . . We are opening this up to America."

Denver closed its primary highway for the event, and nobody was allowed to park in the Invesco Field lots for security reasons. The light rail, city's public transportation system, temporarily shut down while a bomb squad investigated a suspicious package found inside a duffel bag.
The lucky few who entered the stadium without problems arrived before 9 a.m. and waited outside for about four hours before security officials began the screening process. After proceeding through an electronic scanner, attendees walked into an empty Invesco Field and chose their seats. A high school marching band entertained them with drum rolls and chants of "Obama." Cheerleaders posed for pictures on the stadium concourses.
The rest of the crowd -- those who decided to come downtown, say, only eight hours before Obama's speech -- arrived to find widespread disorder. By 3 p.m., a line outside the stadium snaked around a security fence, curved around walkways and through parking lots. Some of the 15,000 credentialed media members had trouble finding their designated entrance. Former Iowa governor Tom Vilsack, a presidential candidate himself early this year, waited in line with everybody else.
Rich Huttenhower, who had driven three hours from Carbondale, Colo., then parked at his brother's house and rode downtown on a crowded light-rail train, said: "I'm going to see if there's any other way to get in, and if I can't find one, I'll go to the MSNBC tent and try to watch on TV."
Most people in line kept waiting, undeterred. They crawled past volunteers handing out water and dozens of roadside vendors selling Obama souvenirs. T-shirts, playing cards, shot glasses, umbrellas -- all transformed into commemorative items with the addition of the Obama imprint.
In such a unique setting, Linda Jacobs of Seattle did not mind standing around for an hour. "I think it's worth it," she said, "because this is a historic event I can tell my grandchildren about."

Staff writer David Nakamura in Washington contributed to this report.

Source : http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2008/08/28/AR2008082804171_2.html?hpid=topnews&sid=ST2008082804221&s_pos=

Senin, 25 Agustus 2008

Hazardous waste

Hazardous waste controls

New controls on Hazardous Waste came into force in England, Wales and Northern Ireland on July 16th, 2005. These replace the previous "Special Waste regime". In Scotland, "special waste" and "hazardous waste" have the same meaning.

A number of waste streams not previously considered to be hazardous, including televisions, computer monitors, fluorescent lighting and end-of-life vehicles are now classified as hazardous.

Since July 2005, most producers of hazardous waste in England and Wales have been required to notify their premises to the Environment Agency. Guidance on notification, including the on-line notification facility, can be found on the Environment Agency's hazardous waste pages. This registration requirement has replaced the need to pre-notify the Environment Agency of Special Waste movements.

In Northern Ireland and Scotland, there is no need to register, but pre-notification of Hazardous Waste movements are still required.

The Landfill Directive

The 2002 Landfill Directive has set tighter standards on wastes that can go to landfill. These standards are called waste acceptance criteria (WAC) and applied to hazardous waste from July 2005.

The WAC set leaching and other limit values that components of the waste stream must meet in order to be accepted at landfill sites. This is in addition to the ban on 'co-disposal' of Hazardous Waste and Non-Hazardous Waste in landfill sites since July 2004. There is a significant reduction in the number of hazardous waste sites available for landfill within the UK. Current Environment Agency lists of landfill sites and transfer stations in England and Wales accepting hazardous waste illustrate this reduction.

The Environment Agency has noted a reduction in the amount of hazardous waste going to landfill as a result of the Landfill Directive and as such, the legislative framework is driving greater waste minimisation and recovery. Latest figures report a 60% reduction in hazardous waste sent to landfill and a 64% increase in hazardous waste recycling.

What is hazardous waste?

Waste is hazardous when it contains properties that might make it harmful to our health or the environment.

The European Commission revised its list of hazardous waste and incorporated it into the European Waste Catalogue (EWC), which lists all wastes, grouped according to generic industry or process. Each waste type is allocated a six-digit code. Those that are hazardous are identified in the EWC with an asterisk (*). Some wastes are classed as hazardous outright known as absolute entries and are highlighted in red and marked with an "A".

Other wastes require separate assessment to determine whether they are hazardous or not, depending on the amount of dangerous substances present above threshold concentrations. These are known as mirror entries and are highlighted in blue and marked with an "M". Wastes not classified as hazardous are shown in black without any markings.

For guidance on how to use the EWC, please download Appendix A - Consolidated European Waste Catalogue (pdf) from the Environment Agency's what is hazardous waste section. This is part of technical guide 'WM2' produced by the UK Regulators.

How does this affect my company?

The inclusion of more wastes classified as "hazardous" could mean your company is a hazardous waste producer.

Any business already handling hazardous wastes should already be working with their waste contractor to dispose of them safely. You may have to pay more to dispose of your hazardous waste as your waste management contractor has to travel further to landfill and they may ask you to treat it before they collect it.

There are some differences in the legislation in each of the four countries of the UK. You can get guidance from your regulator; contact details are listed on the help and resources page.

Hazardous wastes need to be collected and disposed of separately. In England and Wales, you probably need to register with the Environment Agency. Your waste contractor may be able to do this for you.

As part of meeting the Waste Acceptance Criteria (WAC), some wastes will need to be sampled, tested and described for your waste contractor - this is called 'characterisation' and ensures that the waste will be disposed of in the correct way.

Think about how to reduce the amount of waste your business creates - producing less will make life easier and could save you money.

What can I do?

Use the free help provided by Envirowise, such as publications or the Envirowise Advice Line to help you identify and deal with your hazardous waste. You may be able to have a free on-site visit (available in Wales, Northern Ireland and Scotland) where a specialist advisor will spend a day at your site to identify and analyse avoidable hazardous wastes and find potential cost savings for your business.

Another option is to reduce the amount of hazardous materials in your products. Envirowise offers advice on how you can design out hazardous material. Where appropriate, a DesignTrack visit may be arranged (available in Wales, Scotland, Northern Ireland) with a specialist design advisor focusing on reducing the whole life environmental impact of a specific product.

Source : http://www.envirowise.gov.uk/167181

How To Write An Environmental Policy

Introduction

An Environmental Policy is a written statement outlining an organisation's mission in relation to managing the environmental effects and aspects of its operations. For organisations intending to obtain certification to the international standard ISO 14001 or registration under EMAS, BS 8555 or the Green Dragon Environmental Standard®, the Environmental Policy is the cornerstone of an environmental management system's (EMS) development and implementation. This Reference Note will help Environmental Managers wishing to implement an EMS in their company to write an Environmental Policy clearly and concisely.

Information

The Environmental Policy should clearly state the aims and principles of an organisation (its mission) with respect to its impact on the environment. All organisations have an effect to some degree and the policy should recognise this. The policy should also allow its management to communicate its aims and objectives to employees and other interested parties, including shareholders, customers and suppliers. In the case of a multi-site operation, there may be a number of group or divisional operating statements, which when combined, represent the view of the holding company.

Why Write an Environmental Policy?

The benefits associated with writing an Environmental Policy include:

  • assuring customers of commitment to demonstrable environmental management
  • maintaining good public/community relations
  • enhancing image and market share
  • improving cost control
  • reducing incidents that result in liability
  • conserving raw materials and energy
  • sharing environmental solutions
  • improving industry/government relations.

What are the Best Format and Style for the Policy?

There is no standard format for writing an Environmental Policy, but the style should reflect your organisation's culture. A good starting point is to collect and review examples of policies written by other organisations and select the format and style most appropriate to your own organisation (see below for sources of examples).

There are a few basic rules to follow to ensure the policy is clearly written and concise:

  • keep the statement short - if it's longer than a sheet of A4, then it's probably too long
  • the statement is meant for everyone to see, so make sure it's easy to read and understand
  • the statement must be realistic, achievable and relevant to your organisation's activities and practices
  • demonstrate commitment to making the policy work and get the statement signed, dated and endorsed by the MD, Chief Executive or other senior manager.
What Statements Should the Policy Contain?

There is no standard content for an Environmental Policy, although policies normally contain the same themes, including those listed below.

As a general rule, the policy should contain statements on the following criteria:

  • a commitment to continuous improvement
  • recognition of compliance with relevant environmental legislation as a minimum level of performance
  • the education and training of employees in environmental issues and the environmental effects of their activities
  • the monitoring of progress and review of environmental performance on a regular basis (usually annually).
Additional issues relevant to your organisation, and which you may wish to address in your Environmental Policy, could include:
  • transport
  • recycling of packaging materials
  • minimising waste
  • efficient use of water and energy
  • use of biodegradable chemicals
  • minimising use of solvents and lead-based paints
  • use of timber from sustainable (managed) forests
  • procedures to minimise noise disturbance to neighbours
  • phasing out of CFCs and ozone-depleting substances.
If your business is linked closely to key customers through the supply chain, obtain a copy of their Environmental Policy, so that your statements can reflect their requirements and needs.

Can I Follow a Checklist of Statements to Help Me Draft the Policy?

The checklist below may help you to draft a policy appropriate to your business. Choose examples of the statements that would apply to your business and make the statements as specific as possible for your operations:

  • comply with the requirements of environmental legislation and approved codes of practice
  • assess the environmental impact of all historic, current and likely future operations
  • continuously seek to improve environmental performance
  • reduce pollution, emissions and waste
  • reduce the use of all raw materials, energy and supplies
  • raise awareness, encourage participation and train employees in environmental matters
  • expect similar environmental standards from all suppliers and contractors
  • assist customers to use products and services in an environmentally-sensitive way
  • liaise with the local community
  • participate in discussions about environmental issues.

Do I Need to Review the Policy and If So, How Often?

To check that your organisation's current activities comply with the Environmental Policy, a review needs to be undertaken regularly - usually on an annual basis, or in the first six months initially. If your organisation's business activities or operations change significantly, the policy may need to be amended.

Legislation

Writing an Environmental Policy is undertaken on a voluntary basis in the UK and the structure and content are, therefore, not regulated specifically by UK legislation. For organisations intending to obtain certification to ISO 14001 or registration under EMAS, BS 8555 or the Green Dragon Environmental Standard®, refer to the guidance notes to help you prepare an appropriate Environmental Policy.

Source :http://www.envirowise.gov.uk/Ref012#q1

Sabtu, 23 Agustus 2008

Kuat Memegangi Prinsip

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Harus ada keyakinan kuat yang mereka pegangi agar bisa tegak kepalanya, mantap langkahnya, jelas tujuannya dan ada alasan yang kuat untuk bertindak dan bekerja keras. Keyakinan kuat kepada Allah Yang Maha Menciptakan hampir tidak ada artinya jika tidak ada petunjuk yang pasti benarnya untuk hidup yang sesuai dengan kehendak-Nya. Ringkasnya, petunjuk itu harus pasti dan meyakinkan. Betul-betul petunjuk dari Allah 'Azza wa Jalla. Bukan rekaan.

Tak kalah pentingnya untuk diperhatikan, petunjuk itu haruslah menjadi pijakan dalam bertindak, berpikir dan bersikap. Mengacu pada petunjuk, kita mengarahkan pikiran, sikap, keinginan dan tindakan kita. Berpijak pada petunjuk, kita membangkitkan mimpi-mimpi dalam diri kita untuk meraihnya sekaligus memperoleh kebaikan dari usaha maupun hasilnya. Petunjuk menjadi daya penggerak (driving force) untuk bertindak, berjuang, bersungguh-sungguh dan berkorban untuk menjalani serta mewujudkan cita-cita yang bersifat moralistik-idealistik.

Apakah petunjuk yang pasti benarnya itu? Al-Qur'an. Allah Ta'ala menjamin, 'Alif Laam Miim. Kitab (al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat." (Al-Baqarah [2]: 1-4).

Tetapi Al-Qur'an tidak memberi manfaat jika kita menggunakannya sebagai pembenaran atas pendapat dan keinginan kita, bukan sebagai sumber kebenaran. Kita kehilangan petunjuk. Pada saat yang sama, sikap itu membuat anak-anak kehilangan kepercayaan terhadap al-Qur'an, meski secara kognitif mengakuinya sebagai kitab suci. Hilangnya kepercayaan itu secara pasti akan menyebabkan anak kehilangan rasa hormat terhadap kesucian agama sehingga hampir tidak mungkin menjadikannya sebagai pembentuk sikap hidup yang kokoh.

Maka, kita perlu menghidupkan budaya mengambil petunjuk dari al-Qur'an semenjak anak-anak masih amat belia. Kita mengakrabkan mereka dengan kebiasaan mengenali bagaimana kemauan al-Qur'an dalam setiap urusan sekaligus membuktikan kebenaran al-Qur'an. Kita membiasakan mereka untuk mencerna ayat al-Qur'an, lalu mengajak mereka menemukan apa yang harus mereka kerjakan berdasarkan ayat-ayat tersebut.

Ini berarti, kita memperkenalkan tradisi mendeduksikan pesan-pesan al-Qur'andalam pemahaman. Artinya, bermula dari ayat al-Qur'an kita belajar merumuskan sikap dan tindakan. Bermula dari al-Qur'an, kita mengarahkan perasaan dan pikiran kita. Berpijak pada al-Qur'an kita menilai segala sesuatu. Dalam hal ini, al-Qur'an menjadi penilai, penjelas dan pembeda.
Cara memperkenalkan al-Qur'an semacam ini lebih sempurna jika orangtua maupun guru memiliki kecakapan untuk memahami 'maksud al-Qur'an yang sebenarnya' sebelum mengeksplorasi lebih jauh. Hal ini kita lakukan dengan membiasakan anak memahami maksud tiap ayat berdasarkan tafsir yang otoritatif, yakni tafsir baku yang semua mufassir terpercaya menerimanya. Tanpa memahami maksud yang sebenarnya, kita bukannya mengambil petunjuk dari al-Qur'an, tetapi menjadikan al-Qur'an sebagai penguat dari pendapat kita tanpa kita menyadari.

Contoh sederhana. Dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “…. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…..†(Ar-Ra’d [13]: 11).

Penggalan ayat ini sering menjadi argumentasi mereka yang sedang meyakinkan saudara-saudaranya untuk melakukan perubahan nasib. Padahal ayat ini sebenarnya menunjukkan bahwa pada dasarnya Allah Ta’ala limpahkan kebaikan dan kemuliaan kepada kita sampai jiwa kita berubah.

Contoh sederhana ini menunjukkan betapa pentingnya kita menghidupkan budaya mengambil petunjuk secara tepat. Sebab, salah dalam mengambil petunjuk â€"meski sumber petunjuknya benarâ€"akan salah pula tindakan yang kita ambil.Di sini kita perlu berhati-hati. Pemahaman, perasaan, sikap, keyakinan dan tidak terkecuali tindakan, banyak berawal dari perkataan. Cara kita mengungkapkan, sangat berpengaruh terhadap pemahaman, penghayatan dan keyakinan. Sangat berbeda akibatnya bagi keyakinan anak terhadap al-Qur’an. Salah cara kita berbicara, salah pula sikap anak terhadap al-Qur’an sebagai petunjuk untuk masa-masa selanjutnya.

Sangat berbeda pengaruhnya bagi pikiran ketika kita berkata, “Begitulah Allah Ta’ala berfirman. Karena itu…, kita perlu berusaha dengan sungguh-sungguh agar bisa lebih banyak bersedekah.†Kalimat ini mengisyaratkan bahwa al-Qur’an adalah sumber petunjuk dan inspirasi tindakan. Sedangkan kalimat berikut, melemahkan keyakinan anak terhadap al-Qur’an karena terasa sebagai pembenaran. Bukan sumber kebenaran. Sainslah yang menjadi sumber kebenaran manakala kalimat kita berbunyi, “Berdasarkan penemuan mutakhir tadi kita bisa melihat bahwa sikap kita bisa mempengaruh alam semesta, meskipun kelihatannya tidak merusak. Karena itu…, tidak heran kalau Allah Ta’ala berfirman….â€
Agar anak semakin percaya kepada al-Qur’an, suasana yang menjadikan al-Qur’an
sebagai petunjuk dan acuan dalam bertindak perlu dihidupkan. Ini menuntut budaya pembelajaran yang kontekstual. Seorang guru al-Qur’an adalah guru yang kemana pun ia pergi, ia akan menunjukkan kepada murid-muridnya bagaimana al-Qur’an berbicara. Melalui cara ini anak memperoleh pengalaman mental bahwa al-Qur’an melingkupi seluruh aspek kehidupan, sehingga anak semakin dekat hatinya kepada petunjuk. Selengkapnya, pembicaraan tentang ini akan kita lanjutkan pada edisi mendatang.

Anak-anak juga perlu memperoleh pengalaman iman dan sekaligus intelektual bahwa al-Qur’an merupakan penimbang, penilai dan pemberi kata putus tentang benar tidaknya sebuah pendapat, bahkan penemuan yang dianggap ilmiah sekalipun. Bukan sebaliknya, menakar kebenaran al-Qur’an dari sains. Untuk itu, seorang guru perlu memiliki wawasan luas, meski yang diajarkan di sekolah hanya satu mata pelajaran: tahfidz. Menghafal al-Qur’an. Tujuannya, agar murid tidak hanya hafal di otak, tetapi lebih penting lagi meyakini di hati.

Selebihnya, tidak bisa tidak, modal yakin dan tidak ragu sama sekali terhadap al-Qur’an adalah dengan mengenal dan mengimani sumber al-Qur’an, yakni Allah Ta’ala dan proses turunnya.

Ringkasnya, ternyata untuk mengajak anak-anak meyakini al-Qur’an, guru tidak cukup sekedar bisa membaca. Hanya dengan meyakini secara total sehingga tidak ada keraguan di dalamnya, al-Qur’an bisa menjadi daya penggerak untuk bertindak. Dengan demikian, mereka tidak sekedar hafal. Lebih dari itu, hidup jiwanya dan kuat keyakinannya dalam memegangi prinsip.Semoga melalui lisan para guru yang memancarkan cahaya al-Qur’an, anak-anak kita bisa belajar memegangi al-Qur’an dengan kuat, sehingga kita bisa berharap anak-anak itu kelak menjadi mukmin yang bertakwa, penuh belas kasih hatinya, berbakti pada orangtua, santun, tidak sombong dan hidup jiwanya. *Wallahu a’lam bish-shawab.

Source : http://www.hidayatullah.co.id/latihan/index.php?option=com_content&view=article&id=7389:kuat-memegangi-prinsip&catid=99:m-fauzil-adhim-&Itemid=75

Rasa Takut Yang Produktif

Perasaan takut adalah sebuah hal yang manusiawi. Tapi bagaimana mengelola rasa takut menjadi lebih bertanggung jawab?

Keberanian sangat diperlukan dalam hidup ini untuk memudahkan tercapainya maksud dan tujuan yang ingin kita capai. Seorang ulama tunanetra ketika disuguhi hidangan ayam panggang berujar, "Seandainya kamu seekor elang tidaklah mungkin diperlakukan orang seperti ini" . Artinya kalau seseorang memiliki keberanian, tidaklah mudah diperlakukan seenaknya oleh orang yang ingin berbuat dan bertindak terhadap dirinya.

Inilah sebagian manfaat keberanian itu. Namun disisi lain rasa takut juga diperlukan. Tentu rasa takut bukan dalam konotasi pengecut, tetapi dalam pengertian takut melakukan pelanggaran terhadap norma-norma dan penggarisan yang telah di tetapkan oleh Allah SWT.

Sebagai contoh dapat kita kemukakan perjalanan kepemimpinan Umar Ibnu Khottab. Dia terkenal seorang yang sangat pemberani. Semasa belum Islam oleh orang Arab dikenal dengan sebutan "Si kidal yang pemberani". Selalu siap menantang jago-jago yang datang untuk bertarung di Pasar Ukasy dan selalu menang. Namun setelah Islam, apalagi setelah menjadi Khalifah dia termasuk orang yang sangat penakut. Takut terhadap pertanggung jawaban kepemimpinannya di hari kemudian. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa buah dari rasa takut yang dimiliki Umar Ibnu Khottab ini dapat membuahkan hasil yang sulit dicari tandingannya sepanjang sejarah kepemimpinan dalam Islam. Rasa takut seperti ini dapat digolongkan sebagai rasa takut yang produktif. Bukan rasa takut yang mematikan.

Hasil dari rasa takut
Masih berhubungan dengan kepemimpinan Umar Ibnu Khottab. Sebagai manifestasi rasa tanggung jawab dalam memimpin dan rasa takutnya kepada Alah SWT hampir setiap malam dia ngeluyur ke tengah-tengah kampung, keluar masuk lorong untuk melakukan check on the spot untuk mengetahui langsung apa yang terjadi pada rakyatnya. Kalau-kalau ada yang kelaparan; ada yang sakit atau kena mausibah-musibah lain. Ketika berhenti sejenak disebuah rumah kecil milik seorang janda miskin dia mendengar sebuah dialog antara ibu dengan anak prempuanya. Sang ibu menyuruh anaknya mencampur susu yang akan dijual besok dengan air karena sedikit sekali hasil perahan yang diperoleh tadi siang. Menurut sang ibu kalau tidak dicmpur bakal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan makan untuk hari ini. Sang anak gadis tidak setuju dengan pendapat orang tuanya dengan alasan, Khalifah melarang keras kita berbuat demikian. Sang ibu megnemukakan alasan bahwa, " Kan Khalifah tidak juga mengetahui pebuatan kita ini".
Sang anak dengan penuh keseriusan mencoba meyakinkan orang tuanya bahwa, "Khalifah Umar memang tidak mengetahui tapi Tuhan Yang Maha Kuasa pasti mengetahuinya. Saya minta dengan sangat jangan sampai ibu berbuat demikian".

Peristiwa itu terjadi menjelang subuh. Umar Ibnu Khattab menuju mesjid smbail menangis haru. Usai shalat Subuh anaknya yang bernama Ashim diperintahkan menyelidiki rumah orang tua miskin yang mempunyai seorang gadis itu. Setelah Ashim kembali menceritakan segala sesuatu tentang keluarga itu, Umar Ibnu Khottab memerintahkan anaknya yang memang sudah berkeinginan untuk nikah agar menikahi gadis miskin tapi suci itu. Mudah-mudahan dari hasil pernikahan itu, kata Umar Ibnu Khottab, lahir seorang pemimpin Arab.

Ternyata kemudian memang terbukti do'a dan harapan itu. Dari hasil penikahan itu lahirlah seorang perempuan yang bernama Laila yang akhirnya dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan. Dari hasil pernikahan ini lahirlah Umar bin Abdul Aziz yang kelak menjadi khalifah mewarisi kepemimpinan kakeknya, Umar Ibnu Khottab.

Umar bin Abdul Aziz dikenal sangat berwibawa serta jujur dan adil didalam menjalankan mekanisme pemerintahannya. Digambarkan sebagai seorang yang dikepalanya terdapat akal bijak, didadanya terdapat hati pahlawan, dimulutnya terdapat lidah sastrawan. Kelak dia menguasai negeri-negeri Maroko, Aljazair, Tunisia, Tripoli, Mesir, Hijaz, Najed, Yaman, Suriah, Palestina, Yordania, Libanon, Iraq, Armenia, Afghanistan, Bukhar sampai Samarkand.
Kendati dia tetap tinggal di sebuah rumah kecil yang tidak lebih bagus dari rumah penduduk pada umumnya. Sehingga utusan-utusan negara-negara lain yang ingin menemuinya pusing mencari rumahnya, karena jauh diluar bayangannya kalau rumahnya sejelek itu.
Ini adalah buah dari rasa takut yang dimiliki oleh perempuan miskin disudut kota yang menarik hati Khalaifah Umar Ibnu Khattab untuk menikahkan dengan putranya. Lalu melahirkan seorang Laila yang tumbuh dalam iman dan taqwa kepada Allah SWT. Gadis suci dan cantik itu kemudian dipersunting oleh seorang yang tepandang di Madinah karena iman dan taqwanya pula, Abdul Aziz bin Marwan.

Satu lagi cerita yang menggambarkan buah dari rasa takut melakukan perbuatan dosa. Seorang anak yang memungut buah delima yang ranum dari sungai. Setelah dimakan lalu timbul penyesalan. Dia sangat menyesal memakan buah itu tanpa izin kepada pemiliknya. Padahal buah-buahan yang gugur yang dialirkan oleh sungai lazimnya tidak ada lagi sangkut pautnya dengan yang punya. Namun karena anak ini seorang yang wara' , sangat takut melakukan dosa. Dia menelusuri sungai itu kearah hulu sampai dia menemukan sebuah kebun delima. Dicarinya pemilik kebun itu. Dengan sangat agar dia dapat dimaafkan karena telanjur memakan buah delima yang didapati terapung di sungai. Dalam hati pemilik kebun itu, ini tentu bukan anak sembarangan. Si pemilik kebun itu mengetes anak ini. "Tidak mungkin saya maafkan, kecuali kalau kau mau menikahi anak gadisku". "Tapi saya belum ingin nikah, Pak". Jawabnya. "Ya, terserah, tapi saya tidak memaafkanmu". "Baiklah Kalau begitu, saya siap menikahi anak Bapak". " Tapi perlu kamu ketehui" –- kata orang tua itu– "Bahwa anak gadis saya itu buta, bisu, tuli dan lumpuh".

Setelah berfikir sejenak, dalam hatinya secara manusiawi berkata, "Mau diapakan perempuan seperti itu. Tidak dapat diajak berkomunikasi". Tapi demi keselamatannya dari kungkungan dosa yang membahayakan kehidupannya kelak diakhirat dia terima ajakan itu. Diapun dinikahkan langsung oleh orang tua itu setelah memanggil saksi.

Setelah nikah dia sendiri disuruh mendatangi isrinya di kamar. Alangkah kagetnya, karena yang ditemui di kamar adalah seorang perempuan cantik. Mungkin perempuan itu penjaga gadis cacat itu, pikirnya. Dia kembali menemui mertuanya. "Tidak ada di kamar perempuan seperti yang Bapak maksud itu. Di kamar tidak ada orang yang buta, bisu, tuli dan lumpuh.
Sang mertua menjelaskan," Itulah yang Bapak maksud, nak!. Yang saya katakan buta karena tidak suka melihat yang jelek-jelek yang dapat mendatangkan dosa; yang Bapak maksudkan dengan bisu karena tidak suka ngomong yang mendatangkan dosa; yang saya maksudkan dengan tuli karena dia sangat tidak senang mendengar suara-suara yang mendatangkan dosa; yang saya maksud dengan lumpuh karena dia tidak suka kemana-mana, lagi-lagi kaarena takut terlibat dalam perbuatan dosa. Makanya ketika kamu datang melaporkan perbautanmu meminta dimaafkan atas perbuatanmu memakan buah delima yang hanyut di sungai, langsung saya tangkap kamu, karena orang baik-baiklah yang mau melakukan itu. Saya tidak ingin menikahkan anak saya dengan sembarang orang".

Hasil pertemuan kedua orang "takut berbuat dosa" itu, lahirlah seorang ulama besar, yang kita kenal dengan Imam Syafi'i, yang mazhabnya paling banyak pengikutnya di seluruh dunia. Ulama yang sejak umur 7 tahun sudah menghafal Al-Qur'an 30 juz.

Ujian menuju pemerintahan bersih
Sebentar lagi bangsa ini akan mengadakan hajatan besar untuk memilih wakil - wakilnya di DPR serta DPD dan tak lama itu setelah itu dilanjutkan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Apa yang akan dilakukan untuk Indonesia kita yang tengah terengah-engah dan sekarat ini. Apakah akan membiarkan tetap sekarat dengan tindihan utang sebanyak 135 milyar dollar=satu juta dua ratus lima belas trilyun rupiah, yang kalau dibebankan kepada lebih dari 200 juta penduduk Indonesia berarti tiap orang menanggung sedikitnya enam milyar tujuh puluh lima juta rupiah?.

Atau akan berusaha keras melunasi utang-utang itu agar rakyat Indonesia "tidak sengsara dimalam hari dan tidak terhina di siang hari?" (Hadits). Disamping itu 40 juta orang penganggur mendesak untuk mendapatkan pekerjaan. Pemerintah baru di era baru ini akan diperhadapkan kepada satu kondisi dimana harus selalu self control untuk mengingat-ingat kembali "janji yang telah kuucapkan diahdapanmu wahai rakyat". Dan melakukan secara terus menerus correction for possible deviations. Karena budaya penyelewengan di negeri ini telah mengalir bersama darah bangsa ini.

Ibarat sebatang pohon akarnya telah terhunjam dalam ke petala bumi. Pertanyaan berikut, "Masih adakah rasa takut dalam jiwa kita. Kalau ada, apa yang kita takuti?.
Mahkamah pengadilan sejarah yang tidak mengenal ampun, kalau kita menyakiti hati rakyat, berjoged diatas penderitaannya? Itu sangat penting. Namun yang jauh lebih penting lagi kita takut terhadap pengadilan Qodhi Robbun Jalil –yang berujung dengan penyiksaan yang sangat pedih bila kita tergolong perusak, pendurhaka".

Bila seorang memiliki rasa takut didalam menjalankan mesin pemerintahan atau aktivitas apa saja; menegakkan supremasi hukum, terutama hukum Ilahi; membangun villa keadilan dan menata taman kesejahteraan, sehingga senyum rakyat yang sudah cukup lama tidak pernah nampak kembali tersungging, maka dapat dipastikan akan membuahkan hasil, yakni namanya akan tertulis dengan huruf timbul menggunakan tinta emas dalam lembaran sejarah yang akan dikenang sepanjang masa. Bukan nama yang busuk dan tercabik-cabik oleh torehan sejarah akibat sikap dan perbuatannya yang lupa daratan ketika berkuasa padahal belum jauh dari pantai. [Manshur Salbu. Dikutip dari Rubrik "Hikmah", Majalah Hidayatullah/http://www.hidayatullah.com/]

Source :http://www.hidayatullah.co.id/latihan/index.php?option=com_content&view=article&id=7399:rasa-takut-yang-produktif&catid=110:gaya-hidup-muslim&Itemid=57

Analysis: Biden pick shows lack of confidence

By RON FOURNIER, Associated Press Writer

DENVER - The candidate of change went with the status quo. In picking Sen. Joe Biden to be his running mate, Barack Obama sought to shore up his weakness — inexperience in office and on foreign policy — rather than underscore his strength as a new-generation candidate defying political conventions.

He picked a 35-year veteran of the Senate — the ultimate insider — rather than a candidate from outside Washington, such as Govs. Tim Kaine of Virginia or Kathleen Sebelius of Kansas; or from outside his party, such as Sen. Chuck Hagel of Nebraska; or from outside the mostly white male club of vice presidential candidates. Hillary Rodham Clinton didn't even make his short list.

The picks say something profound about Obama: For all his self-confidence, the 47-year-old Illinois senator worried that he couldn't beat Republican John McCain without help from a seasoned politician willing to attack. The Biden selection is the next logistical step in an Obama campaign that has become more negative — a strategic decision that may be necessary but threatens to run counter to his image.

Democratic strategists, fretting over polls that showed McCain erasing Obama's lead this summer, welcomed the move. They, too, worried that Obama needed a more conventional — read: tougher — approach to McCain.

"You've got to hand it to the candidate and the campaign. They have a great sense of timing and tone and appropriateness. Six months ago, people said he wasn't tough enough on Hillary Clinton — he was being too passive — but he got it right at the right time," said Democratic strategist Jim Jordan. "He'll get it right again."

Indeed, Obama has begun to aggressively counter McCain's criticism with negative television ads and sharp retorts from the campaign trail.

A senior Obama adviser, speaking on condition of anonymity, said his boss has expressed impatience with what he calls a "reverence" inside his campaign for his message of change and new politics. In other words, Obama is willing — even eager — to risk what got him this far if it gets him to the White House.

Biden brings a lot to the table. An expert on national security, the Delaware senator voted in 2002 to authorize military intervention in Iraq but has since become a vocal critic of the conflict. He won praise for a plan for peace in Iraq that would divide the country along ethnic lines.
Chief sponsor of a sweeping anti-crime bill that passed in 1994, Biden could help inoculate Obama from GOP criticism that he's soft on crime — a charge his campaign fears will drive a wedge between white voters and the first black candidate with a serious shot at the White House.

So the question is whether Biden's depth counters Obama's inexperience — or highlights it?
After all, Biden is anything but a change agent, having been in office longer than half of all Americans have been alive. Longer than McCain.

And he talks too much.
On the same day he announced his second bid for the presidency, Biden found himself explaining why he had described Obama as "clean."

And there's the 2007 ABC interview in which Biden said he would stand by an earlier statement that Obama was not ready to serve as president.

It seems Obama is worried that some voters are starting to agree.
EDITOR'S NOTE: Ron Fournier has covered national politics for The Associated Press for nearly 20 years.

Source : http://news.yahoo.com/s/ap/20080823/ap_on_el_pr/veepstakes_analysis

Kamis, 21 Agustus 2008

Republik Korupsi

Oleh Eko Prasetyo

Berangkat sore menuju ke kantor, macet di sekitar Jl Wonokromo dan Jl A. Yani, Surabaya, menjadi pemandangan yang biasa bagi saya. Namun, saya bersyukur bahwa macetnya Surabaya tak separah seperti Jakarta. Bisa saya bayangkan betapa tingkat depresi orang-orang Jakarta begitu tinggi karena faktor macetnya jalan. Bahkan, saya pernah mendengar dari seorang rekan bahwa jalan tikus di Jakarta pun bisa macet.

Meski demikian, jalanan yang macet bukan satu-satunya hal yang bisa bikin orang stres. Makin tak menentunya situasi ekonomi negeri ini pun bisa menyebabkan depresi. Tentu saja, lagi-lagi rakyat turut merasakan stres karena faktor ekonomi.

Harga kebutuhan pokok kian melambung, sedangkan pendapatan kadang tak sepadan dengan pengeluaran. Sudah 63 tahun Indonesia merdeka. Namun, kita secara tak sadar masih dijajah. Bukan dijajah negara lain, tapi korupsi! Korupsi kini tidak hanya dilakukan oleh para pejabat. Tapi, orang miskin pun bisa berbuat korupsi. Orang kini makin minim mengenal kata jujur. Segala hal bisa dimanipulasi.

Orang bilang ini zaman edan. Yen ora melu edan, ora keduman (Kalau tidak ikut-ikutan edan, tidak kebagian). Begitu kata pujangga Jawa Ronggowarsito. Seorang karyawan dengan pendapatan dua juta lebih per bulan bisa defisit karena kian mahalnya kebutuhan pokok dan BBM. Belum lagi dia harus mengatur keuangan rumah tangga untuk bayar listrik, air, telepon, biaya anak sekolah, dan lain-lain.

Karena itu, saya tak bisa membayangkan bagaimana dengan mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan? Faktor ekonomi memang rawan terhadap tindak korupsi.

Kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR dan beberapa pengusaha seakan menjadi menu yang biasa kita santap di media massa dan elektronik. Ketidakjujuran melanda di berbagai sektor dan elemen masyarakat. Akibatnya, jangan heran bila ada seorang pedagang yang mengurangi timbangannya. Jangan kaget pula bila ada anak yang mengambil keuntungan setelah membohongi orang tuanya.

Indonesia sekarang benar-benar krisis. Utang negara yang menumpuk belum tentu bisa terbayar hingga 30 tahun ke depan. Sedangkan gaya hidup hedonis kian menggila di negeri ini. Kekayaan alam dieksplositasi habis-habisan demi kepentingan suatu golongan, sementara rakyat dipaksa menderita karena bumi Indonesia kian ramah dengan bencana.

Masya Allah. Lihatlah derita warga di Porong yang menderita karena lumpur Lapindo tak kunjung menampakkan tanda akan surut. Sementara, di saat lain ada pernikahan mewah yang menembus angka puluhan miliar rupiah. Tidakkah mereka punya kepekaan sosial dan solidaritas terhadap sesama? Para figur publik pun tak lagi bisa dijadikan anutan.

Hari-hari tak pernah surut dengan berita kawin cerai, selingkuh, pacaran remaja, dan hal-hal yang tak pantas dikonsumsi oleh anak-anak kita. Suatu kali, saya mendapati nenek saya membeli tempe di gang kampung. Beliau mengeluhkan harga tempe yang makin mahal. Dulu, beli seribu rupiah sudah dapat tempe yang bisa dimakan oleh kami bertiga (saya, nenek, dan kakek saya). ”Sak iki, beli tiga ribu cuma dapat tempe sak uprit, ” tutur nenek saya.

Kalau tempe sampai tak terbeli, bisa-bisa orang miskin akan makan nasi basi yang dikeringkan dan digoreng kembali. Ini pun sudah terjadi di beberapa daerah yang penduduknya tergolong sangat miskin. Masya Allah. Jika ditelaah, kesulitan pangan dan terpuruknya ekonomi Indonesia bermuara pada satu hal: korupsi!

Suara kaum miskin dan lemah sulit didengar oleh pemerintah. Mereka baru mau turun ke bawah ketika ada pemilihan kepala daerah atau negara, berkampanye ke sana kemari mencari dukungan dengan embel-embel janji yang entah bisa diwujudkan atau tidak.

Malam ini di ruang kerja saya duduk termenung. Redaksi telah lengang. Langit di atas Surabaya bertabur bintang. Dalam kesendirian saya bergumam lirih, ”Negara ini telah menjadi Republik Korupsi.” Mudah-mudahan Ramadhan nanti bisa mencerahkan hati para pemimpin, mencerahkan kita, mencerahkan bangsa ini dari sifat ketidakjujuran yang mengakibatkan terjadinya korupsi.

Marhaban yaa Ramadhan... prasetyo_pirates@yahoo.co.id

Source :http://www.eramuslim.com/atk/oim/8821030416-republik-korupsi.htm?other

Senin, 18 Agustus 2008

Memasuki Masa Menabur Janji

Oleh : Imansyah

Tiga puluh empat partai politik dinyatakan lolos dan berhak ikut Pemilu 2009. Tiga puluh macam bendera sekarang telah berkibar dimana – mana dan sayangnya kadang – kadang tanpa memperhatikan estitika kota. Maksud hati ingin sosialisasi namun sayangnya malah kadang – kadang bikin semrawut kota. Lihatlah iklan – iklan pencitraan diri yang semakin marak di media elektronik dan media cetak. Wajah – wajah yang berusaha menyakinkan rakyat bahwa mereka pantas dan layak memimpin negeri ini. Wajah – wajah yang semakin hari mendominasi media elektronik dan cetak. Memaksa kita untuk menoleh .Tak ubahnya seperti iklan kecap , semua mengklaim nomor 1, terbaik, dan paling tahu tentang permasalahan bangsa ini dan tahu bagaimana menyelesaikannya. Ada yang melakukan survey pesanan, akting di televisi dengan menunjukkan sosok yang memiliki empati, tapi kadang – kadang tampil menggelikan. Ada yang gagah berani tampil di sana – sini, berkoar – koar siap memimpin negeri ini namun dengan track record yang tidak jelas.

Tapi tak satupun dari mereka yang berani mengungkapkan borok – borok yang ada pada mereka. Saya adalah calon presiden yang kerjanya sebelum jadi anggota DPR adalah tukang demo dimana-mana, punya LSM dengan bantuan dari negara – negara barat yang katanya kampiun demokrasi dan HAM namun malah menginjak – nginjak HAM di Irak, Afghanistan, dan tempat – tempat lainnya. Saya adalah calon presiden yang saya pikir cukup cerdas untuk menyelesaikan masalah bangsa ini, tapi maaf waktu saya kuliah dulu hampir do atau malah di do. Ataupun saya adalah calon presiden yang pernah hampir jadi tersangka korupsi. Atau saya adalah calon presiden yang dikatakan orang tersandung pelanggaran HAM berat sewaktu masih aktif bertugas. Dan sebagainya........... Apa ada yang berani berkampanye apa adanya ? Tanpa kepura – puraan ? Berapa yang harus mereka habiskan untuk pencitraan diri di berbagai media ? Milyaran, puluhan milyar atau bisa jadi lebih.Lihatlah betapa banyak kasus gizi buruk di negeri ini, betapa banyak anak yang tak mampu sekolah, lihatlah betapa banyak orang – orang yang kehilangan mata pencaharian akibatnya tutupnya pabrik – pabrik, lihattlah betapa menjeritnya rakyat kecil ditengah – tengah himpitan hidup, ditengah-tengah melonjaknya harga – harga kebutuhan sehari – hari. Apakah layak menghambur – hamburkan uang hanya untuk sekedar dikenal dan dianggap layak memimpin negeri ini ? Bahkan salah seorang ketua partai mengatakan, semenjak dirinya tampil di iklan tv selama hajatan salah satu cabang olah raga paling populer dirinya sekarang lebih banyak dikenal masyarakat hingga sampai ke pelosok – pelosok. Bung, orang bijak pernah berkata, perbuatan seseorang di depan seribu orang jauh lebih efektif dibandingkan dengan perkataan seribu orang di depan seseorang. Ingat bung, rakyat akan melihat apa yang saudara kerjakan, bukan apa yang saudara katakan !

Bahkan yang lebih menggelikan ada yang melontarkan gagasan bahwa sudah saatnya sekarang negeri ini dipimpin oleh orang muda dan orang tua sebaiknya tahu diri dan segera minggir, dan ditanggapi dengan berlebihan bagai orang kebakaran jenggot oleh salah orang calon yang pernah memimpin negeri ini. Bahkan ada salah satu petinggi partai dengan jumawa berkata bahwa partainya akan menyeleksi ratusan calon presiden dengan gelar PhD/Doktor ( S3 ), lulusan luar negeri lagi. Sungguh – sungguh menggelikan, apakah persoalan bangsa ini bisa diselesaikan dengan orang muda atau orang tua ? Apakah permasalahan bangsa ini hanya bisa diselesaikan oleh para Doktor ( S3 ) lulusan perguruan tinggi ternama luar negeri ? Dikotomi anatara calon presiden tua dan muda seharusnya tak layak muncul di negeri yang rindu akan pemimpin yang mampu membawa bangsa ini keluar dari segala keterpurukannya. Bangsa ini memerlukan pemimpin yang jujur di tengah – tengah suburnya kemunafikan dimana – mana, bangsa ini memerlukan pemimpin yang amanah, yang tidak khianat, yang tidak begitu mudah menjual aset – aset vital kepada pihak asing dengan harga yang sangat murah, bangsa ini memerlukan pemimpin yang cerdas, yang mampu memberikan solusi terhadap segala permasalahan bangsa ini, bangsa ini memerlukan pemimpin yang terbuka terhadap segala kritik, terhadap segala usul ke arah perbaikan , dan menjawab kritik – kritik tersebut dengan perbuatan yang nyata bukannya malah berpolomik yang tak habis – habisnya di media, serta bangsa ini memerlukan pemimpin yang tegas yang tak rela tunduk dan mengemis – ngemis di depan pihak asing, dan bangsa ini memerlukan pemimpin yang mampu mengayomi seluruh rakyat dan komponen bangsa ini tanpa membeda – bedakan antara yang satu dengan yang lainnya, menjadikan Indonesia ini rumah yang aman dan nyaman bagi semua anak bangsanya.

Ada yang bilang, saat kampanye seperti saat ini adalah saat ( masa ) tabur janji. Berbagai macam janji dan program mereka tawarkan untuk menarik simpati. ” Keadilan” merupakan salah satu kosa kata yang sepertinya harus atau paling tidak wajib untuk diucapkan.” Demi pemerataan pembangunan dan pemenuhan rasa keadilan,maka................ ” , merupakan salah satu contoh kalimat yang sudah tidak asing lagi bahkan mungkin wajib diucapkan, apakah itu untuk Pilkada, Pemilu Legislatif bahkan pada Pemilu untuk memilih presiden.

Keadilan, seebuah kata yang mudah diucapkan namun teramat sulit untuk diwujudkan. Teriakan untuk menegakkan keadilan di Indonesia, bukan hanya dimonopoli oleh para pakar di mimbar – mimbar keilmuan namun akhir – akhir ini sudah menjadi buah bibir di kalangan rakyat kecil sampai ke warung kopi.

Bagaimana mungkin mengharapkan keadilan ditengah riuh rendahnya suara seluruh komponen bangsa yang mengharapkan hukum dijalankan tanpa tebang pilih dan keadilan ditegakkan tanpa pamrih, pabila keadilan hanya menjadi buah bibir atau sekedar basa – basi . Bagaimana nasib bangsa ini ke depan jika kepastian hukum hanya menjadi kosmetik. Lebih tragis lagi, bagaimana mungkin menegakkan keadilan di republik yang menjadi sorganya para koruptor dengan retorika hukum, dan mengabaikan hati nurani keadilan ?

Sangat ironis sekali, di negeri yang baru kemarin merayakan kemerdekaannya yang ke – 63, negeri yang berazaskan Pancasila ini yang salah satu silanya, ” Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, masih terdapat kasus gizi buruk, mejeritnya rakyat kecil di tengah – tengah melonjaknya kebutuhan sehari – hari,namun pada kejadian lainnya terungkapnya kasus penyuapan yang melibatkan oknum jaksa dan menyeret sejumlah pejabat di Kejagung. Orang – orang yang seharusnya menjadi ujung tombak penegakkan hukum di negeri ini.Peristiwa miris, yang membuat kita mengurut dada. Ada apa ini ?

Keadilan sangat mustahil ditegakkan tanpa adanya keteladanan. Sudah siapkah para calon pemimpin negeri ini menjadi teladan yang patut untuk diteladani. Apa yang dikatakan Rasulullah ,” Kalau Fatimah putriku mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.” Rasulullah menegakkan keadilan mulai dari keluarganya sendiri . Atau pada kisah lainnya bagaimana Khalifah Umar bin Khatab memikul sendiri sekarung gandum untuk dibawa ke rumah seorang penduduknya yang lapar karena tidak memiliki sesuatu apapun untuk dimakan. Atau kisah begitu sejahteranya rakyat pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Azis, karena beliau terkenal adil dalam memerintah. Kita semua rindu akan pemimpin yang mampu berbuat adil dan menegakkan keadilan. Disaat bangsa ini sudah terjangkit wabah korupsi yang demikian kronis, disaat bangsa ini makin terpuruk, masih adakah harapan akan hadirnya seorang pemimpin dengan keteladanan dan citra kenegarawan .

Tak dapat kita pungkiri lagi, budaya global dan hedonisme telah menciptakan semacam ” rangsangan materi ” yang luar biasa bagi bangsa ini. Kita telah digiring bahwa ukuran sukses seseorang adalah seberapa banyak harta yang telah didapatkannya. Ukuran materi sebagai garis finish. Sukses diukur dari berapa banyak harta yang ditumpuk, tabungan deposito, jumlah perusahaan, apartemen dan mobil mewah, serta sederet jabatan dengan berbagai fasilitas yang didapatkan dan gelar yang kita sandang, meskipun dengan sedikit bahkan mungkin tanpa kontribusi sosial dan tanpa manfaat apapun bagi orang-orang miskin. Rangsangan materi itulah yang membuat kita semakin miskin akan ”nilai-nilai spritual” dan semakin kering akan ”empati” atau semakin kehilangan nilai-nilai kemanusiaan. Coba kita lihat kasus BLBI yang menyeret wakil – wakil rakyat kita yang terhormat, berapa banyak uang yang mengalir ke anggota – anggota DPR dan pihak – pihak lainnya. Sekali lagi kita terhenyak !

Budaya permisif, membuat sebagian kita yang memiliki jabatan tertentu merasa sah – sah saja atau wajar-wajar saja menerima fee dari proyek yang sesungguhnya merupakan sebuah amanah .Tanpa terasa, kita begitu lahap memakan barang – barang yang bukan hak kita, menyantap dengan rakus, hanya karena takut tak kebagian. Bahkan kadang – kadang menyikut, menendang, dan menjilat agar berada pada posisi yang kita inginkan. Kita semakin tidak menghargai harta halal yang kita dapatkan dari keringat sendiri biarpun cuma sekilo beras. Semakin terbiasa kita menciderai rasa keadilan, melecehkan orang-orang miskin, mengganggap biasa kezaliman dan penindasan.

Sudah begitu banyak undang-undang, peraturan-peraturan, lembaga atau badan pengawas, yang menghabiskan anggaran yang tidak kecil. Tapi apa yang terjadi di lapangan ?Penyimpangan masih terjadi, korupsi malah makin merembak dimana – mana. Kasus jual beli perkara, mafia peradilan, loyonya aparat penegak hukum menghadapi mafia kelas kakap, merupakan hal – hal yang sering kita lihat di lapangan. Bagaimana mungkin kita bisa menyapu lantai dengan bersih jika sapunya sendiri kotor ?

Sebagai manusia, kita memang butuh materi dan prestasi. Tapi akan menjadi sangat naif dan menyedihkan apabila jika sebagai pemimpin atau penguasa negeri ini malah menumpuk materi lantas menepuk dada dan bertepuk tangan untuk diri sendiri meskipun tanpa kontribusi apapun kepada rakyatnya sendiri. Bagaimana calon pemimpinku ? Kami butuh keteladanan dan tindakan dan bukannya sejuta janji yang membuai mimpi.Selamat menabur janji para calon pemimpinku.

( Penulis merupakan mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ).

Minggu, 17 Agustus 2008

Lima Poin Pendidikan Anak Dalam Islam

Oleh Siti Aisyah Nurmi

Bunda, apakah ilmumu hari ini? Sudahkah kau siapkan dirimu untuk masa depan anak-anakmu? Bunda, apakah kau sudah menyediakan tahta untuk tempat kembali anakmu? Di negeri yang Sebenarnya. Di Negeri Abadi? Bunda, mari kita mengukir masa depan anak-anak kita. Bunda, mari persiapkan diri kita untuk itu.

Hal pertama Bunda, tahukah dikau bahwa kesuksesan adalah cita-cita yang panjang dengan titik akhir di Negeri Abadi? Belumlah sukses jika anakmu menyandang gelar atau jabatan yang tertinggi, atau mengumpulkan kekayaan terbanyak. Belum Bunda, bahkan sebenarnya itu semua tak sepenting nilai ketaqwaan. Mungkin itu semua hanyalah jalan menuju ke Kesuksesan Sejati. Atau bahkan, bisa jadi, itu semua malah menjadi penghalang Kesuksesan Sejati.

Gusti Allah Yang Maha Mencipta Berkata dalam KitabNya:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS 3:185)

Begitulah Bunda, hidup ini hanya kesenangan yang menipu, maka janganlah tertipu dengan tolok ukur yang semu. Pancangkanlah cita-cita untuk anak-anakmu di Negeri Abadi, ajarkanlah mereka tentang cita-cita ini. Bolehlah mereka memiliki beragam cita-cita dunia, namun janganlah sampai ada yang tak mau punya cita-cita Akhirat.

Kedua, setelah memancangkan cita-cita untuk anak-anakmu, maka cobalah memulai memahami anak-anakmu. Ada dua hal yang perlu kau amati:

Pertama, amati sifat-sifat khasnya masing-masing. Tidak ada dua manusia yang sama serupa seluruhnya. Tiap manusia unik. Pahami keunikan masing-masing, dan hormati keunikan pemberian Allah SWT.

Yang kedua, Bunda, fahami di tahap apa saat ini si anak berada. Allah SWT mengkodratkan segala sesuatu sesuai tahapan atau prosesnya.
Anak-anak yang merupakan amanah pada kita ini, juga dibesarkan dengan tahapan-tahapan.

Tahapan sebelum kelahirannya merupakan alam arwah. Di tahap ini kita mulai mendidiknya dengan kita sendiri menjalankan ibadah, amal ketaatan pada Allah dan juga dengan selalu menjaga hati dan badan kita secara prima. Itulah kebaikan-kebaikan dan pendidikan pertama kita pada buah hati kita.

Pendidikan anak dalam Islam, menurut Sahabat Ali bin Abitahalib ra, dapat dibagi menjadi 3 tahapan/ penggolongan usia:
1. Tahap BERMAIN (“la-ibuhum”/ajaklah mereka bermain), dari lahir sampai kira-kira 7 tahun.
2. Tahap PENANAMAN DISIPLIN (“addibuhum”/ajarilah mereka adab) dari kira-kira 7 tahun sampai 14 tahun.
3. Tahap KEMITRAAN (“roofiquhum”/jadikanlah mereka sebagai sahabat) kira-kira mulai 14 tahun ke atas.
Ketiga tahapan pendidikan ini mempunyai karakteristik pendekatan yang berbeda sesuai dengan perkembangan kepribadian anak yang sehat. Begitulah kita coba memperlakukan mereka sesuai dengan sifat-sifatnya dan tahapan hidupnya.

Hal ketiga adalah memilih metode pendidikan. Setidaknya, dalam buku dua orang pemikir Islam, yaitu Muhammad Quthb (Manhaj Tarbiyah Islamiyah) dan Abdullah Nasih ’Ulwan (Tarbiyatul Aulad fil Islam), ada lima Metode Pendidikan dalam Islam.

Yang pertama adalah melalui Keteladanan atau Qudwah, yang kedua adalah dengan Pembiasaan atau Aadah, yang ketiga adalah melalui Pemberian Nasehat atau Mau’izhoh, yang keempat dengan melaksanakan Mekanisme Kontrol atau Mulahazhoh, sedangkan yang terakhir dan merupakan pengaman hasil pendidikan adalah Metode Pendidikan melalui Sistem sangsi atau Uqubah.

Bunda, jangan tinggalkan satu-pun dari ke lima metode tersebut, meskipun yang terpenting adalah Keteladanan (sebagai metode yang paling efektif).

Setelah bicara Metode, ke empat adalah Isi Pendidikan itu sendiri. Hal-hal apa saja yang perlu kita berikan kepada mereka, sebagai amanah dari Allah SWT.
Setidak-tidaknya ada 7 bidang. Ketujuh Bidang Tarbiyah Islamiyah tersebut adalah: (1) Pendidikan Keimanan (2) Pendidikan Akhlaq (3) Pendidikan Fikroh/ Pemikiran (4) Pendidikan Fisik (5) Pendidikan Sosial (6) Pendidikan Kejiwaan/ Kepribadian (7) Pendidikan Kejenisan (sexual education). Hendaknya semua kita pelajari dan ajarkan kepada mereka.

Ke lima, kira-kira gambaran pribadi seperti apakah yang kita harapkan akan muncul pada diri anak-anak kita setelah hal-hal di atas kita lakukan? Mudah-mudahan seperti yang ada dalam sepuluh poin target pendidikan Islam ini:
Selamat aqidahnya, Benar ibadahnya, Kokoh akhlaqnya, Mempunyai kemampuan untuk mempunyai penghasilan, Jernih pemahamannya, Kuat jasmaninya, Dapat melawan hawa nafsunya sendiri, Teratur urusan-urusannya, Dapat menjaga waktu, Berguna bagi orang lain.

Insya Allah, Dia Akan Mengganjar kita dengan pahala terbaik, sesuai jerih payah kita, dan Semoga kita kelak bersama dikumpulkan di Negeri Abadi. Amin. Wallahua’lam, (SAN)

Catatan:
- Lima Poin Pendidikan Anak: -1.Paradigma sukses-2.Mengenal Tahapan dan Sifat-3.Metode-4.Isi-5.Target.
- Buku Muhammad Quthb (Manhaj Tarbiyah Islamiyah) diterjemahkan dengan judul “Sistem Pendidikan Islam” terbitan Al-Ma’arif Bandung, dan buku Abdullah Nasih ’Ulwan (Tarbiyatul Aulad fil Islam) diterjemahkan dengan judul Pendidikan Anak Dalam Islam.

Source : http://www.eramuslim.com/atk/btm/8810164842-lima-poin-pendidikan-anak-dalam-islam.htm

Kamis, 14 Agustus 2008

Russia's War Is The West's Challenge

By Mikheil Saakashvili

Russia's invasion of Georgia strikes at the heart of Western values and our 21st-century system of security. If the international community allows Russia to crush our democratic, independent state, it will be giving carte blanche to authoritarian governments everywhere. Russia intends to destroy not just a country but an idea.
For too long, we all underestimated the ruthlessness of the regime in Moscow. Yesterday brought further evidence of its duplicity: Within 24 hours of Russia agreeing to a cease-fire, its forces were rampaging through Gori; blocking the port of Poti; sinking Georgian vessels; and -- worst of all -- brutally purging Georgian villages in South Ossetia, raping women and executing men.

The Russian leadership cannot be trusted -- and this hard reality should guide the West's response. Only Western peacekeepers can end the war.

Russia also seeks to destroy our economy and is bombing factories, ports and other vital sites. Accordingly, we need to establish a modern version of the Berlin Airlift; the United Nations, the United States, Canada and others are moving in this direction, for which we are deeply grateful.
As we consider what to do next, understanding Russia's goals is critical. Moscow aims to satisfy its imperialist ambitions; to erase one of the few democratic, law-governed states in its vicinity; and, above all, to demolish the post-Cold War system of international relations in Europe. Russia is showing that it can do as it pleases.
The historical parallels are stark: Russia's war on Georgia echoes events in Finland in 1939, Hungary in 1956 and Czechoslovakia in 1968. Perhaps this is why so many Eastern European countries, which suffered under Soviet occupation, have voiced their support for us.

Russia's authoritarian leaders see us as a threat because Georgia is a free country whose people have elected to integrate into the Euro-Atlantic community. This offends Russia's rulers. They do not want their nation or even its borders contaminated by democratic ideas.

Since our democratic government came to power after the 2003 Rose Revolution, Russia has used economic embargoes and closed borders to isolate us and has illegally deported thousands of Georgians in Russia. It has tried to destabilize us politically with the help of criminal oligarchs. It has tried to freeze us into submission by blowing up vital gas pipelines in midwinter.
When all that failed to shake the Georgian people's resolve, Russia invaded.

Last week, Russia, using its separatist proxies, attacked several peaceful, Georgian-controlled villages in South Ossetia, killing innocent civilians and damaging infrastructure.
On Aug. 6, just hours after a senior Georgian official traveled to South Ossetia to attempt negotiations, a massive assault was launched on Georgian settlements. Even as we came under attack, I declared a unilateral cease-fire in hopes of avoiding escalation and announced our willingness to talk to the separatists in any format.

But the separatists and their Russian masters were deaf to our calls for peace. Our government then learned that columns of Russian tanks and troops had crossed Georgia's sovereign borders. The thousands of troops, tanks and artillery amassed on our border are evidence of how long Russia had been planning this aggression.
Our government had no choice but to protect our country from invasion, secure our citizens and stop the bloodshed. For years, Georgia has been proposing 21st-century, European solutions for South Ossetia, including full autonomy guaranteed by the international community. Russia has responded with crude, 19th-century methods.
It is true that Russian power could overwhelm our small country -- though even we did not anticipate the ferocity and scale of Moscow's response. But we had to at least try to protect our people from the invading forces. Any democratic country would have done the same.

But facing this brutal invading army, whose violence was ripping Georgia apart, our government decided to withdraw from South Ossetia, declare a cease-fire and seek negotiations. Yet Moscow ignored our appeal for peace.

Our repeated attempts to contact senior Russian leaders were rebuffed. Russia's foreign ministry even denied receiving our notice of cease-fire hours after it was officially -- and very publicly -- delivered. This was just one of many cynical ploys to deceive the world and justify further attacks.

This war threatens not only Georgia but security and liberty around the world. If the international community fails to take a resolute stand, it will have sounded the death knell for the spread of freedom and democracy everywhere.

Georgia's only fault in this crisis is its wish to be an independent, free and democratic country. What would Western nations do if they were punished for the same aspiration ?
I have staked my country's fate on the West's rhetoric about democracy and liberty. As Georgians come under attack, we must ask: If the West is not with us, who is it with? If the line is not drawn now, when will it be drawn? We cannot allow Georgia to become the first victim of a new world order as imagined by Moscow.

The writer is president of Georgia.

Source :http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2008/08/13/

Selasa, 12 Agustus 2008

Menjelang Kematian

Oleh Mashadi

Bentuk keadilan Allah Rabbul Azis adalah tentang adanya kematian. Semua manusia pasti akan menemui kematian.

Tak ada satupun manusia yang dapat menolak dan menunda datangnya kematian. Kematian bukanlah episode akhir kehidupan manusia. Masih ada kehidupan yang lebih panjang, yang bersifat kekal-abadi, dan selama-lamanya, yaitu kehidupan akhirat. Kelak, posisi manusia di akhirat, sangatlah ditentukan selama kehidupannya di dunia.

Abu Bakar As-Shidiq ra, menjelang wafatnya, putrinya Aisyah datang menemui beliau. Aisyah duduk di dekat kepala ayahnya. Ia menangis: “Ayah, benar kata orang dahulu yang bersyair, “Sungguh! Tidak ada gunanya kekayaan dunia, Ketika napas tersengal dan dada sesak”.
Lalu, Abu Bakar ra menoleh kepada Aisyah, dan berkata: “Anakku, jangan bicara seperti itu”, ucap ayahnya. Lalu Khalifah Abu Bakar melanjutkan, katakanlah: “Dan, datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang dahulu hendak kamu hindari”. (Qur’an: Qaf:19).
Sesudah Abu Bakar As-Shidiq wafat, banyak orang yang sibuk mencari harta peninggalannya. Khalifah Islam yang kekuasaannya sangat luas, membentang dari Bagdad sampai ke Afrika Utara, dan memimpin Dunia Islam, di mana ‘emas dunia’ (harta kekayaan ) berada di bawah kekuasaannya, rakyatnya hanya mendapati peninggalannya berupa seekor baghal dan dua potong pakaian. Sebelum wafatnya Abu Bakar berwasiat: “Kafani aku dengan satu kain saja. Kirimkan baghal dan pakaian yang satunya kepada Khalifah Umar Ibn Kaththab. Dan, katakana kepadanya: “Wahai Umar, bertakwalah kepada Allah. Jangan sampai Allah Ta’ala mewafatkan seperti aku ini”.

Ketika baghal dan k ain itu sampai kepada Umar, ia terduduk menangis seraya berkata: “Engkau menyusahkan khalifah sesudahmu, wahai Abu Bakar!”. Benar, demi Allah, Abu Bakar telah menyulitkan kahlifah sesudahnya. Demi Allah, Abu Bakar menyusahkan setiap pemimpin (Khalifah) sesudahnya untuk meneladani dan mengikuti jejak langkahnya.

Ibnul Qayim mengisahkan bahwa setiap pagi, bersamaan terbitnya fajar matahari, Abu Bakar keluar rumah menuju kemah yang berada dipinggiran kota Madinah, tujuannya ia menemui seorang rakyatnya, wanita tua renta, buta, malang, dan sangat menderita. Abu Bakar ra menyapukan rumahnya, memasakkan makanan, dan memerahkan susu kambingnya. Inilah yang dilakukan Abu Bakar ra, orang pertama setelah Rasulullah Saw, mujahid agung, dan Khalifah Rasulullah Saw. Dan, usai membantu wanita tua itu, Abu Bakar ra, kembali ke Madinah.
Umar pernah mengkuti kepergian Abu Bakar. Ke mana Khalifah Islam itu pergi setiap pagi? Ketika Abu Bakar keluar dari rumah orang tua itu, Umar pun masuk. Umar bertanya:“Kamu siapa?”, ucapnya. “Saya hanyalah seoran perempuan tua yang malang, dan menderita. Suami saya sudah lama meninggal dunia, dan tidak ada yang menghidupi saya setelah Allah, kecuali orang yang datang tadi”, jawab wanita tua itu.Umar bertanya:“Kamu mengenalnya?”, “Tidak.Demi Allah, saya tidak mengenalnya”, jawab wanita tua itu.Umar bertanya lagi: “Lalu apa yang dia lakukan?”, “Menyapu rumah, menolong memerahkan susu, dan membuatkan makanan!”, jawab wanita tua itu.

Mendengar tutur wanita itu, Umar terduduk sambil menangis.Semoga Allah Ta’ala melimpahkan kesejahteraan kepada Abu Bakar, dan di antara orang-orang yang kekal di surga Nya. Semoga Allah Ta’ala meridhai nya di antara orang-orang yang shidiqin. Semoga pula Allah Ta’ala mempertemukan orangl-orang mu’min dengannya di surga. Amin. (disarikan dari Saat Mau tMenjemput - Aid al-Qarni) Mashadi.

Source : http://www.eramuslim.com/atk/bps/8811130956-menjelang-kematian.htm

Betapa Berharganya Engkau, Anakku...

Oleh Asriwidiarti

Suatu saat, saya sempat tak percaya ketika guru kelas anak saya menceritakan tentang anak sulung saya ketika ia masih kelas satu dulu. Ia sama sekali tak mau masuk kelas, lebih suka bermain di luar kelas. Waktu itu saya masih menganggapnya wajar, toh ia baru kelas satu. Meski pun setelah itu saya harus menungguinya di kelasnya beberapa waktu. Bahkan sambil dibonusi dengan tangis karena ia tak mau ditinggal. Padahal di TKnya dulu ia sudah tak seperti itu. Kami sempat berfikir membawanya ke SD alam mengingat latar belakangnya yang aktif dan tak mau berkonsentrasi lama, tetapi mengingat jarak dan faktor biaya, rencana itu kami urungkan.

Seiring waktu ia mulai mau belajar di dalam kelas, meski ia lebih suka dihukum karena kesalahan yang ia lakukan agar ia bisa mencabuti rumput di luar kelas. Sekarang, alhamdulillah, ia sudah kelas lima. Setiap tahun menjelang kenaikan kelas, sesungguhnya saya sering khawatir karena gurunya senantiasa memberi "warning"sebab nilainya yang mepet untuk bisa naik kelas. Sungguh, rasanya tak percaya. Bukankah ketika ia masih bayi dulu, iamenunjukkan kecerdasan yang membanggakan. Bukankah kalau dililhat dari sisi genetis, mestinya ia tak menunjukkan kesulitan belajar, abinya dosen, saya pun lulus dari PTN dan dapat beasiswa karena berprestasi? Eyangnya guru yang dihormati sekitar.

Tetapi saya memang harus banyak belajar darinya, bahwa kecerdasan tidak hanya ditentukan dari sisi intelektualnya, tetapi dari banyak sisi yang lain. Dia adalah teman yang menyenangkan bagi anak-anak didekatnya, dia empati, ringan tangan membantu dan sangat kreatif menbuat permainan baru.Itu sebabnya dia banyak mempunyai "fans", nak-anak para tetangga. Begitu pulang sekolah, namanya disebut berkali-kali. Dia juga yang beranjak pertamakali ketika mendengar adik bungsunya menangis dan senantiasa menghiburnya.

Dia pula yang menyetrika baju seragamnya dan adik-adiknya ketika mau sekolah dan belum ada seragam setrikaan. Dia pula yang rajin membuat nasi goreng dengan aneka bumbu yang berubah-ubah dan biasanya, enak. Dia pula yang mencuci piring ketika umminya terbaring sakit. Sungguh, di usia sepuluh tahun, saya belum mempunyai ketrampilan sebanyak yang dia punya, karena saya memang difokuskan untuk belajar. Meski saya sering menang lomba akademis mewakili SD saya, tetapi putri saya memiliki kekayaan yang jauh lebih banyak dari yang saya punya. Ia sangat menikmati outbond, turun tebing, panjat tebing, menyebrang sungai, mabit, mencari kepiting dan wader di kali tanpa risih dan rasa takut.

Saya yakin, saya salah ketika saya memandangnya tak sepintar adiknya yang selalu tiga besar di kelasnya. ia pintar dari sisi sisi yang lain sebagaimana adiknya juga pintar dari sisi yang lain lagi. Menerima dia seutuhnya dan tak membandingkannya dengan yang lain adalah keadilan yang harus saya tegakkan, meski seringkali juga banyak godaannya.

Tetapi, hidup banyak pilihan. Meski suatu saat dia pernah bilang, "Aku nggak mau kuliah seperti ummi dan abi, aku mau sampai SMA saja." Tetapi esok masih panjang. Ia masih bisa berkembang lebih baik dan lebih potensial. Semoga Allah membariskannya dalam barisan pencerah ummat dalam bingkai keridhoanNYa....sebagaimana amanah kecerdasan yang dimilikinya.

Source : http://www.eramuslim.com/atk/oim/8812093251-betapa-berharganya-engkau-anakku....htm

Jumat, 08 Agustus 2008

Is your Netflix queue destroying the environment?

My family just got Netflix, and the first DVD we rented was An Inconvenient Truth (really). As we watched the film, I started getting pangs of regret: The movie was surely sitting on the shelf at my local video store, and here we were getting it delivered from hundreds of miles away. Is my Netflix queue destroying the environment?

You can rest your conscience: Renting a DVD by mail is probably a greener choice than going to your local video store. To understand why, let's chart the journey a DVD takes before it arrives in your living room.

Up until the last few miles, your disc's trip is pretty similar no matter how you get it. A Netflix DVD is initially delivered to the company's main distribution center in Sunnyvale, Calif., and then sent by truck with thousands of other discs to one of 53 regional distribution centers across the country. From there it's sent as part of a daily delivery to a nearby U.S. Postal Service hub, and regular mail carriers take over. Meanwhile, a DVD destined for a brick-and-mortar Blockbuster store first goes to the company's McKinney, Texas, facility, where it's repackaged into a Blockbuster-sanctioned plastic case and trucked to your local store. (Blockbuster now offers a rent-by-mail service as well.)

The two methods of renting a DVD are only substantively different at the very end, when the disc travels to your doorstep. The Netflix DVD may be transported back and forth over much greater distances than the one from the local video store. But it's part of a much larger delivery in the back of a mail truck—and that reduces its environmental impact. (By the same reasoning, a shipment of lamb that comes halfway around the world on a massive boat may be more energy-efficient than a smaller shipment from somewhere nearby.)

The green marketing gurus at Netflix go even further, arguing that the mail is going to be delivered to your house anyway, so the environmental cost of delivering one of their DVDs is effectively zero. (They use this theory to arrive at an enormous estimate for the number of gallons of gas saved by delivering DVDs through the U.S. Postal Service.) Here, the Green Lantern feels Netflix may be overplaying its hand just a little: Eventually, the addition of new mail into the system adds up, requiring more trucks, greater strain on the mail-sorting system, and so on. Since we can't identify the impact of one extra piece of mail, we're better off averaging the cost of delivering the mail over each item. By that logic, the environmental cost of a Netflix delivery is still extremely small, albeit not quite zero.

Indeed, according to a study recently published in the Journal of Industrial Ecology, even just a two-mile drive to the video store will consume a few hundred times more energy than the Netflix delivery from a distribution center 200 miles away. The authors run through calculations for a consumer in Ann Arbor, Mich., and conclude that renting three DVDs online consumes about 33 percent less energy and emits 40 percent less CO2 than picking up those same movies at the traditional video store.

Still, it turns out that transportation accounts for only a small amount of the energy it takes to make and deliver a DVD. In fact, if the Journal of Industrial Ecology study is right, 30 minutes spent reordering your queue—in a well-lit, climate-controlled room with the computer running—will use far more energy than the actual Netflix delivery and about as much energy as it would take to drive your hybrid to a store a half-mile away.

Packaging accounts for another chunk of the difference between renting online or from the video store. It takes a significant amount of energy to make the lockable polypropylene case that you might get at a video store—by the Journal of Industrial Ecology estimate, about as much as you'd need to drive to and from the mall. And compared with a mail-order Tyvek sleeve, a video-store case takes up more space when it's shipped from the main distribution center.

A warning, though: Just because renting by mail wins here doesn't mean that e-commerce is always a greener option. A 2002 study co-authored by a group of U.S. and Japanese researchers concluded that buying a book from an online retailer often required more energy than getting one in person. That's partly because many book shipments are made by air and partly because sending books by UPS and FedEx can require extra stops by couriers. (Bookstores lose much of their advantage if they don't manage their inventories well—traditionally, retailers return a sizable chunk of their stock to the publisher when it doesn't get sold.) So remember: It's not just how far something travels that matters. It's the route it takes to get there.

Source :http://www.slate.com/id/2196651/