Senin, 18 Agustus 2008

Memasuki Masa Menabur Janji

Oleh : Imansyah

Tiga puluh empat partai politik dinyatakan lolos dan berhak ikut Pemilu 2009. Tiga puluh macam bendera sekarang telah berkibar dimana – mana dan sayangnya kadang – kadang tanpa memperhatikan estitika kota. Maksud hati ingin sosialisasi namun sayangnya malah kadang – kadang bikin semrawut kota. Lihatlah iklan – iklan pencitraan diri yang semakin marak di media elektronik dan media cetak. Wajah – wajah yang berusaha menyakinkan rakyat bahwa mereka pantas dan layak memimpin negeri ini. Wajah – wajah yang semakin hari mendominasi media elektronik dan cetak. Memaksa kita untuk menoleh .Tak ubahnya seperti iklan kecap , semua mengklaim nomor 1, terbaik, dan paling tahu tentang permasalahan bangsa ini dan tahu bagaimana menyelesaikannya. Ada yang melakukan survey pesanan, akting di televisi dengan menunjukkan sosok yang memiliki empati, tapi kadang – kadang tampil menggelikan. Ada yang gagah berani tampil di sana – sini, berkoar – koar siap memimpin negeri ini namun dengan track record yang tidak jelas.

Tapi tak satupun dari mereka yang berani mengungkapkan borok – borok yang ada pada mereka. Saya adalah calon presiden yang kerjanya sebelum jadi anggota DPR adalah tukang demo dimana-mana, punya LSM dengan bantuan dari negara – negara barat yang katanya kampiun demokrasi dan HAM namun malah menginjak – nginjak HAM di Irak, Afghanistan, dan tempat – tempat lainnya. Saya adalah calon presiden yang saya pikir cukup cerdas untuk menyelesaikan masalah bangsa ini, tapi maaf waktu saya kuliah dulu hampir do atau malah di do. Ataupun saya adalah calon presiden yang pernah hampir jadi tersangka korupsi. Atau saya adalah calon presiden yang dikatakan orang tersandung pelanggaran HAM berat sewaktu masih aktif bertugas. Dan sebagainya........... Apa ada yang berani berkampanye apa adanya ? Tanpa kepura – puraan ? Berapa yang harus mereka habiskan untuk pencitraan diri di berbagai media ? Milyaran, puluhan milyar atau bisa jadi lebih.Lihatlah betapa banyak kasus gizi buruk di negeri ini, betapa banyak anak yang tak mampu sekolah, lihatlah betapa banyak orang – orang yang kehilangan mata pencaharian akibatnya tutupnya pabrik – pabrik, lihattlah betapa menjeritnya rakyat kecil ditengah – tengah himpitan hidup, ditengah-tengah melonjaknya harga – harga kebutuhan sehari – hari. Apakah layak menghambur – hamburkan uang hanya untuk sekedar dikenal dan dianggap layak memimpin negeri ini ? Bahkan salah seorang ketua partai mengatakan, semenjak dirinya tampil di iklan tv selama hajatan salah satu cabang olah raga paling populer dirinya sekarang lebih banyak dikenal masyarakat hingga sampai ke pelosok – pelosok. Bung, orang bijak pernah berkata, perbuatan seseorang di depan seribu orang jauh lebih efektif dibandingkan dengan perkataan seribu orang di depan seseorang. Ingat bung, rakyat akan melihat apa yang saudara kerjakan, bukan apa yang saudara katakan !

Bahkan yang lebih menggelikan ada yang melontarkan gagasan bahwa sudah saatnya sekarang negeri ini dipimpin oleh orang muda dan orang tua sebaiknya tahu diri dan segera minggir, dan ditanggapi dengan berlebihan bagai orang kebakaran jenggot oleh salah orang calon yang pernah memimpin negeri ini. Bahkan ada salah satu petinggi partai dengan jumawa berkata bahwa partainya akan menyeleksi ratusan calon presiden dengan gelar PhD/Doktor ( S3 ), lulusan luar negeri lagi. Sungguh – sungguh menggelikan, apakah persoalan bangsa ini bisa diselesaikan dengan orang muda atau orang tua ? Apakah permasalahan bangsa ini hanya bisa diselesaikan oleh para Doktor ( S3 ) lulusan perguruan tinggi ternama luar negeri ? Dikotomi anatara calon presiden tua dan muda seharusnya tak layak muncul di negeri yang rindu akan pemimpin yang mampu membawa bangsa ini keluar dari segala keterpurukannya. Bangsa ini memerlukan pemimpin yang jujur di tengah – tengah suburnya kemunafikan dimana – mana, bangsa ini memerlukan pemimpin yang amanah, yang tidak khianat, yang tidak begitu mudah menjual aset – aset vital kepada pihak asing dengan harga yang sangat murah, bangsa ini memerlukan pemimpin yang cerdas, yang mampu memberikan solusi terhadap segala permasalahan bangsa ini, bangsa ini memerlukan pemimpin yang terbuka terhadap segala kritik, terhadap segala usul ke arah perbaikan , dan menjawab kritik – kritik tersebut dengan perbuatan yang nyata bukannya malah berpolomik yang tak habis – habisnya di media, serta bangsa ini memerlukan pemimpin yang tegas yang tak rela tunduk dan mengemis – ngemis di depan pihak asing, dan bangsa ini memerlukan pemimpin yang mampu mengayomi seluruh rakyat dan komponen bangsa ini tanpa membeda – bedakan antara yang satu dengan yang lainnya, menjadikan Indonesia ini rumah yang aman dan nyaman bagi semua anak bangsanya.

Ada yang bilang, saat kampanye seperti saat ini adalah saat ( masa ) tabur janji. Berbagai macam janji dan program mereka tawarkan untuk menarik simpati. ” Keadilan” merupakan salah satu kosa kata yang sepertinya harus atau paling tidak wajib untuk diucapkan.” Demi pemerataan pembangunan dan pemenuhan rasa keadilan,maka................ ” , merupakan salah satu contoh kalimat yang sudah tidak asing lagi bahkan mungkin wajib diucapkan, apakah itu untuk Pilkada, Pemilu Legislatif bahkan pada Pemilu untuk memilih presiden.

Keadilan, seebuah kata yang mudah diucapkan namun teramat sulit untuk diwujudkan. Teriakan untuk menegakkan keadilan di Indonesia, bukan hanya dimonopoli oleh para pakar di mimbar – mimbar keilmuan namun akhir – akhir ini sudah menjadi buah bibir di kalangan rakyat kecil sampai ke warung kopi.

Bagaimana mungkin mengharapkan keadilan ditengah riuh rendahnya suara seluruh komponen bangsa yang mengharapkan hukum dijalankan tanpa tebang pilih dan keadilan ditegakkan tanpa pamrih, pabila keadilan hanya menjadi buah bibir atau sekedar basa – basi . Bagaimana nasib bangsa ini ke depan jika kepastian hukum hanya menjadi kosmetik. Lebih tragis lagi, bagaimana mungkin menegakkan keadilan di republik yang menjadi sorganya para koruptor dengan retorika hukum, dan mengabaikan hati nurani keadilan ?

Sangat ironis sekali, di negeri yang baru kemarin merayakan kemerdekaannya yang ke – 63, negeri yang berazaskan Pancasila ini yang salah satu silanya, ” Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, masih terdapat kasus gizi buruk, mejeritnya rakyat kecil di tengah – tengah melonjaknya kebutuhan sehari – hari,namun pada kejadian lainnya terungkapnya kasus penyuapan yang melibatkan oknum jaksa dan menyeret sejumlah pejabat di Kejagung. Orang – orang yang seharusnya menjadi ujung tombak penegakkan hukum di negeri ini.Peristiwa miris, yang membuat kita mengurut dada. Ada apa ini ?

Keadilan sangat mustahil ditegakkan tanpa adanya keteladanan. Sudah siapkah para calon pemimpin negeri ini menjadi teladan yang patut untuk diteladani. Apa yang dikatakan Rasulullah ,” Kalau Fatimah putriku mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.” Rasulullah menegakkan keadilan mulai dari keluarganya sendiri . Atau pada kisah lainnya bagaimana Khalifah Umar bin Khatab memikul sendiri sekarung gandum untuk dibawa ke rumah seorang penduduknya yang lapar karena tidak memiliki sesuatu apapun untuk dimakan. Atau kisah begitu sejahteranya rakyat pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Azis, karena beliau terkenal adil dalam memerintah. Kita semua rindu akan pemimpin yang mampu berbuat adil dan menegakkan keadilan. Disaat bangsa ini sudah terjangkit wabah korupsi yang demikian kronis, disaat bangsa ini makin terpuruk, masih adakah harapan akan hadirnya seorang pemimpin dengan keteladanan dan citra kenegarawan .

Tak dapat kita pungkiri lagi, budaya global dan hedonisme telah menciptakan semacam ” rangsangan materi ” yang luar biasa bagi bangsa ini. Kita telah digiring bahwa ukuran sukses seseorang adalah seberapa banyak harta yang telah didapatkannya. Ukuran materi sebagai garis finish. Sukses diukur dari berapa banyak harta yang ditumpuk, tabungan deposito, jumlah perusahaan, apartemen dan mobil mewah, serta sederet jabatan dengan berbagai fasilitas yang didapatkan dan gelar yang kita sandang, meskipun dengan sedikit bahkan mungkin tanpa kontribusi sosial dan tanpa manfaat apapun bagi orang-orang miskin. Rangsangan materi itulah yang membuat kita semakin miskin akan ”nilai-nilai spritual” dan semakin kering akan ”empati” atau semakin kehilangan nilai-nilai kemanusiaan. Coba kita lihat kasus BLBI yang menyeret wakil – wakil rakyat kita yang terhormat, berapa banyak uang yang mengalir ke anggota – anggota DPR dan pihak – pihak lainnya. Sekali lagi kita terhenyak !

Budaya permisif, membuat sebagian kita yang memiliki jabatan tertentu merasa sah – sah saja atau wajar-wajar saja menerima fee dari proyek yang sesungguhnya merupakan sebuah amanah .Tanpa terasa, kita begitu lahap memakan barang – barang yang bukan hak kita, menyantap dengan rakus, hanya karena takut tak kebagian. Bahkan kadang – kadang menyikut, menendang, dan menjilat agar berada pada posisi yang kita inginkan. Kita semakin tidak menghargai harta halal yang kita dapatkan dari keringat sendiri biarpun cuma sekilo beras. Semakin terbiasa kita menciderai rasa keadilan, melecehkan orang-orang miskin, mengganggap biasa kezaliman dan penindasan.

Sudah begitu banyak undang-undang, peraturan-peraturan, lembaga atau badan pengawas, yang menghabiskan anggaran yang tidak kecil. Tapi apa yang terjadi di lapangan ?Penyimpangan masih terjadi, korupsi malah makin merembak dimana – mana. Kasus jual beli perkara, mafia peradilan, loyonya aparat penegak hukum menghadapi mafia kelas kakap, merupakan hal – hal yang sering kita lihat di lapangan. Bagaimana mungkin kita bisa menyapu lantai dengan bersih jika sapunya sendiri kotor ?

Sebagai manusia, kita memang butuh materi dan prestasi. Tapi akan menjadi sangat naif dan menyedihkan apabila jika sebagai pemimpin atau penguasa negeri ini malah menumpuk materi lantas menepuk dada dan bertepuk tangan untuk diri sendiri meskipun tanpa kontribusi apapun kepada rakyatnya sendiri. Bagaimana calon pemimpinku ? Kami butuh keteladanan dan tindakan dan bukannya sejuta janji yang membuai mimpi.Selamat menabur janji para calon pemimpinku.

( Penulis merupakan mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ).

Tidak ada komentar: