Sabtu, 28 Juni 2008

Liberasi Pasar Pertanian Mengakibatkan Krisis Harga Pangan

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) telah mengeluarkan peringatan mengenai krisis pangan dunia pada akhir Desember 2007. Krisis pangan yang berupa peningkatan harga dunia membawa ancaman kepada negara dunia ketiga yang tidak memiliki kekuatan ekonomi seperti negara-negara maju. Laporan FAO tersebut terbukti, diawal 2008 harga pangan di sebagian besar negara dunia ketiga mengalami kenaikan yang sangat tinggi, termasuk di Indonesia.

Padahal di saat yang bersamaan produksi pangan dunia mengalami peningkatan. Produksi gandum dunia yang harganya naik pada awal 2008 ini ternyata mengalami peningkatan yang lebih besar lagi yaitu hingga 9,34 juta ton antara tahun 2006 dan 2007. Sementara produksi gula dunia juga meningkat sebesar 4,44 juta ton sepanjang tahun 2007 lalu. Suatu angka yang cukup mencengangkan ditunjukkan dalam produksi jagung dunia pada tahun 2007 lalu yang mencapai rekor produksi 781 juta ton atau meningkat 89,35 juta ton. Hanya kedelai yang mengalami penurunan produksi sebesar 17 persen, itu pun karena ada penuyusutan lahan di Amerika Serikat sebesar 15 persen untuk proyek biofuel.

Sejak akhir Perang Dunia II jumlah penduduk dunia telah bertambah dua kali lipat, dan produksi pangan dunia meningkat tiga kali lipat. Hal ini menujukkan bahwa dunia mampu memberi makan bagi semua penghuninya. Krisis harga pangan yang terjadi saat ini, bukan disebabkan kekuarangan bahan pangan melainkan karena distribusi yang tidak merata. Saat ini masih ada 854 juta orang yang terancam kelaparan di muka bumi ini karena tidak sanggup membeli harga pangan yang saat ini dikendalikan perusahaan-perusahaan eksportir pangan multinasional. Di Indonesia krisis harga pangan sudah mulai terasa. Harga bahan pangan melambung, karena pasar pangan nasional sudah tidak karuan lagi tergerus pasar global.

Menurut Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), hal ini terjadi karena pada tahun 1998 pemerintah menyerahkan kebijakan pangannya kepada pasar. Setelah masuk pasar bebas dalam hal ini WTO, pemerintah Indonesia melakukan liberaslisasi dan privatisasi dalam perdagangan pangan sehingga sistem pangan lokal hancur luluh. “Petani padi, jagung, kacang kedelai dan buah-buahan hancur semua,” tuturnya.

Dengan adanya kebijakan pasar bebas, perusahaan-perusahaan menggenjot produksi pangan berorientasi ekspor. Akibatnya, petani-petani dibelahan dunia lain tak sanggup menahan gempuran pangan ekspor. Kehancuran pertanian pun menjadi kenyataan, surplus pangan berlebih dari negara-negara maju membanjiri pasar nasional. Di saat yang sama, pemerintah kita malah menggenjot produksi hasil perkebunan berorientasi ekspor juga seperti CPO. Produksi tanaman pangan di dalam negeri menjadi terbengkalai.

Henry menegaskan jalan keluar krisis harga pangan ini adalah dengan menegakkan kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan berarti memberikan hak kepada setiap negara untuk mengatur dan memproteksi tata pertanian di masing-masing negara. Negara harus memproteksi petani dari gempuran pasar bebas. Produksi pertanian harus ditujukkan kepada pemenuhan kebutuhan rakyat bukan pada kebutuhan pasar ekspor yang hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan multinasional. Kedualatan pangan harus memprioritaskan pemenuhan pasar lokal dan nasional dan memberdayakan petani kecil di pedesaan.

Selain itu, Henry juga menjelaskan bahwa keterpurukan ini diperkuat oleh tidak adanya kebijakan pembaruan agraria, yaitu membagikan tanah kepada rakyat. Malah pemerintah sibuk mengkapling-kapling tanah untuk perusahaan-perusahaan perkebunan. Saat ini kebanyakan lahan-lahan perkebunan sudah dikelola oleh perushaan-perusahaan besar, bukan keluarga petani. Padahal perusahaan perkebunan itu semuanya berorientasi ekspor. Sehingga pangan yang krusial bagi makanan rakyat tidak terpenuhi.

Saat ini para petani membutuhkan lahan untuk meningkatkan produktivitasnya. Kepemilikan lahan petani yang hanya berkisar 0,3 hektar, jauh dari mencukupi untuk melakukan produksi yang efektif. “Petani membutuhkan lahan untuk berproduksi. Kini saatnya pembaruan agrarian dijalankan, tanah-tanah pertanian subur segera dibagikan kepada rakyat,” tegas Henry.

Source : http://www.spi.or.id/?p=126

Tidak ada komentar: