Minggu, 27 Juli 2008

Ketahanan Pangan sebagai Hak Dasar Hidup dan Kehidupan Manusia Konsep Dasar Ketahanan Pangan

Oleh: Agung Pambudi

Ketahanan pangan merupakan bagian terpenting dari pemenuhan hak atas pangan sekaligus merupakan salah satu pilar utama hak azasi manusia. Ketahanan pangan juga merupakan bagian sangat penting dari ketahanan nasional. Dalam hal ini hak atas pangan seharusnya mendapat perhatian yang sama besar dengan usaha menegakkan pilar-pilar hak azasi manusia lain.

Kelaparan dan kekurangan pangan merupakan bentuk terburuk dari kemiskinan yang dihadapi rakyat, dimana kelaparan itu sendiri merupakan suatu proses sebab-akibat dari kemiskinan. Oleh sebab itu usaha pengembangan ketahanan pangan tidak dapat dipisahkan dari usaha penanggulangan masalah kemiskinan

Ketahanan Pangan juga diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah, maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan merupakan hal yang penting dan strategis, karena berdasarkan pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa tidak ada satu negarapun yang dapat melaksanakan pembangunan secara mantap sebelum mampu mewujudkan ketahanan pangan terlebih dahulu.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan mengamanatkan bahwa pemerintah bersama masyarakat mewujudkan ketahanan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang banyak dan tingkat pertumbuhannya yang tinggi, maka upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan merupakan tantangan yang harus mendapatkan prioritas untuk kesejahteraan bangsa. Indonesia sebagai negara agraris dan maritim dengan sumberdaya alam dan sosial budaya yang beragam, harus dipandang sebagai karunia Ilahi untuk mewujudkan ketahanan pangan.

Strategi Menuju Ketahanan Pangan Nasional

Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, maka seluruh sektor harus berperan secara aktif dan berkoordinasi secara rapi dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa dan masyarakat untuk meningkatkan strategi demi mewujudkan ketahanan pangan nasional

Oleh karena ketahanan pangan tercermin pada ketersediaan pangan secara nyata, maka harus secara jelas dapat diketahui oleh masyarakat mengenai penyediaan pangan. Penyediaan pangan ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga yang terus terus berkembang dari waktu kewaktu. Untuk mewujudkan penyediaan pangan tersebut, perlu dilakukan pengembangan sistem produksi, efisiensi sistem usaha pangan, teknologi produksi pangan, sarana dan prasarana produksi pangan dan mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif.

3. Berbagai Permasalahan Aktual

Meskipun ketahanan pangan ditingkat nasional jika dilihat dari perbandingan antara jumlah produksi dan konsumsi total relatif telah dapat dicapai, namun pada kenyataanya ketahanan pangan dibeberapa daerah tertentu dan ketahanan pangan dibanyak keluarga masih sangat rentan.

Kesejahteraan petani pangan yang relatif rendah dan menurun saat ini akan sangat menentukan prospek ketahanan pangan. Kesejahteraan tersebut ditentukan oleh berbagai faktor dan keterbatasan, diantaranya yang utama adalah :

a. Sebagian petani miskin karena memang tidak memiliki faktor produktif apapun kecuali tenaga kerjanya

b. Luas lahan petani sempit dan mendapat tekanan untuk terus terkonversi

c. Terbatasnya akses terhadap dukungan layanan pembiayaan

d. Masih terbatasnya akses terhadap informasi dan teknologi yang lebih baik

e. Infrastruktur produksi (air, listrik, jalan, informasi dan telekomunikasi) yang kurang memadai

f. Struktur pasar yang tidak adil dan eksploitatif akibat posisi rebut-tawar (bargaining position) yang sangat lemah bagi petani.

g. Masih terbatasnya sumberdaya manusia.

4. Ketahanan Pangan & Komitmen 2015

Program ketahanan pangan dan perbaikan lingkungan tersebut juga merupakan komitmen bangsa Indonesia bersama-sama dengan 191 negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-bangsa untuk mewujudkan 8 agenda pembangunan Millenium atau yang lebih dikenal sebagai Millenium Development Goals (MDGs) 2015 terutama agenda ke-1 (Mengurangi tingkat kemiskinan dan kelaparan) dan agenda ke-7 (Menjamin keberlanjutan pembangunan lingkungan).

Berbagai strategi penanggulangganya sudah barang tentu terus diupayakan oleh pihak-pihak terkait termasuk Departemen Kehutanan yang gencar mengkampanyekan berbagai program rehabilitasi hutan dan lahan sebagai sarana perbaikan lingkungan, peningkatan kesejahtraan ekonomi dan mewujudkan ketahanan pangan masyarakat. Salah satu program

B. AGROFORESTRY:

“Latar Belakang, Strategi dan Implementasi”

1. Latar Belakang

Eksploitasi hutan dan konversi lahan dalam skala massal saat ini telah berimbas kepada kerusakan lingkungan yang sangat parah. Perubahan iklim dunia, pemanasan global, bencana alam banjir, longsor, kekeringan, yang datang silih berganti adalah fenomena turunan yang harus “dirasakan” umat manusia pada dua dasawarsa terakhir dan masih akan berlanjut hingga puluhan tahun kedepan.

Tuntutan menuju kelestarian alam dan lingkungan seringkali terbentur pada tuntutan ekonomi yang dirasa jauh lebih penting, karena menyangkut pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan. Ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan stabilitas ekonomi yang diiringi makin meroketnya harga-harga kebutuhan pokok masyarakat, adalah kenyataan pahit lainnya yang harus dihadapi dalam usaha pelestarian alam dan lingkungan.

Harus ada semacam jalan tengah yang bersifat win-win solution sehingga mampu mengakomodir antara kepentingan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan yang sama-sama krusialnya sehingga konsep “Hutan Lestari dan Masyarakat Sejahtera” dapat terwujud dalam arti yang sebenarnya. Salah satunya adalah pola Agroforestry.



2. Strategi

Agroforestry atau yang lazim disebut Wanatani adalah suatu bentuk pengelolaan lahan yang pada prinsipnya mengkombinasikan tanaman pepohonan dengan tanaman semusim/tanaman pertanian, peternakan atau perikanan. agroforestry dilaksanakan dengan satu tujuan yakni efisiensi penggunaan lahan, artinya dari sebidang lahan bisa dihasilkan berbagai produk yang bernilai ekonomi. Pola tersebut juga dilakukan dalam rangka mengoptimalkan dan meningkatkan produktivitas lahan.

Ilustrasinya sebagai berikut. Pada sebidang tanah, seorang petani menanam sengon (Paraserianthes falcataria) yang memiliki tajuk (canopy) yang tinggi dan luas. Di bawahnya, sang petani menanam tanaman kopi (Coffea spp) yang memang memerlukan naungan untuk berproduksi. Lapisan terbawah di dekat permukaan tanah dimanfaatkan untuk menanam empon-empon atau ganyong (Canna edulis) yang toleran/tahan terhadap naungan.

Pola tanam agroforestry tidak sekedar untuk meningkatkan produktivitas lahan, tetapi juga melindungi lahan dari kerusakan dan mencegah penurunan kesuburan tanah melalui mekanisme alami. Tanaman kayu yang berumur panjang diharapkan mampu memompa zat-zar hara (nutrient) di lapisan tanah yang dalam, kemudian ditransfer ke permukaan tanah melalui luruhnya biomasa. Mekanisme ini juga mampu memelihara produktivitas tanaman yang berumur pendek, seperti palawija. Mekanisme alami tersebut menyerupai ekosistem hutan alam, yakni tanpa input dari luar, ekosistem mampu memelihara kelestarian produksi dalam jangka panjang.

Pola tanam agroforestry yang dianggap paling mendekati struktur hutan alam adalah pekarangan atau kebun. Pada pekarangan/kebun, tanaman-tanaman tumbuh secara acak sehingga menciptakan struktur tajuk dan perakaran yang berlapis. Jadi manfaat ganda dari pola agroforestry (yang ideal dan konsisten) adalah peningkatan produktivitas dan pemeliharaan lingkungan

Melalui pola tersebut diharapkan kebutuhan petani berupa bahan pangan seperti palawija, umbi-ubian, pakan ternak dan kayu untuk keperluan sehari-hari dapat dipenuhi secara berkesinambungan juga mampu melindungi dan meningkatkan kesuburan tanah serta menjaga kelestarian lingkungan hidup.

3. Agroforestry di Sulawesi Selatan.

Pola Agroforestry dengan segala bentuk dan kombinasinya sebenarnya telah lama dipraktekkan masyarakat di sulawesi Selatan, meskipun potensi tersebut belum digarap secara maksimal.

Dalam rangka mensosialisasikan dan mengembangkan pola agroforestry kepada masyarakat, Balai Pengelolaan DAS jeneberang Walanae pada tahun 2003 melaksanakan kegiatan Pembangunan Areal Model Agroforestry di lokasi Desa Bacu-bacu, Kec. Pujananting, Kab. Barru dan di Desa Batumalonro, Kecamatan Bisoloro, Kabupaten Gowa. Masing-masing seluas 100 ha. Pada bab selanjutnya, booklet ini akan mengupas lebih jauh tentang keberhasilan pelaksanaan kegiatan pembangunan Areal Model Agroforestry di Desa Batumalonro, Kecamatan Bisoloro, Kabupaten Gowa

C. Success Story

Kegiatan Areal Model Agroforestry

Desa Batumalonro, Kecamatan Bisoloro, Kabupaten Gowa

1. Profil Desa Batumalonro

Desa Batumalonro terletak ± 55 km timur laut kota makassar dan secara administratif termasuk dalam wilayah kecamatan Bisoloro, Kabupaten Gowa. Desa Batumalonro memiliki wilayah seluas ± km2 yang umumnya terdiri dari areal perkebunan, persawahan dan permukiman penduduk.

Aksesibilitas dari dan menuju desa Batumalonro telah cukup baik. Aliran listrik, sarana pendidikan (SD), kesehatan (puskesmas pembantu/bidan), sarana ibadah, dan sarana informasi (TV) telah mencukupi.

Masyarakat Batumalonro rata-rata mengenyam pendidikan hingga tingkat SD s/d SLTP. Adapun mata pencaharian penduduk Batumalonro kebanyakan adalah petani, pedagang, buruh, dan berbagai sektor informal lainnya.

2. Agroforestry di Batumalonro

Desa Batumalonro dipilih sebagai lokasi agroforestry dengan petimbangan kondisi alamnya yang berbukit-bukit, banyak ditanami tanaman palawija seperti jagung dan sayur-mayur, tingkat kepadatan penduduk yang cukup banyak, dan aksesibilitas lokasi yang mudah dijangkau.

Kegiatan Pembangunan Areal Model Agroforestry di desa Batumalonro dimulai tahun 2003 pada lahan seluas 100 ha. Adapun jenis tanaman yang ditanam antara lain Jati lokal, Gmelina, dan Mahoni (kayu-kayuan) dan Nangka, Mangga, Duian, dan Jambu Mete (MPTS).

Saat ini kegiatan Pembangunan Areal Model Agroforestry telah memasuki pemeliharaan tahun ke-IV. Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan tahun ke-3 yang dilaksanakan BP DAS Jeneberang Walanae pada tahun 2006 lalu kondisi tanaman di lokasi Agroforestry dalam keadaan sehat dan terawat.

Prosentase tumbuh tanaman di lokasi Agroforestry mencapai ± 79,13 % dalam kondisi baik dan dominan sehat. Tinggi tanaman rata-rata ± 45 s/d 250 cm. Dan diameter batangnya rata-rata mencapai 1 s/d 25 cm.

3. Kelembagaan Masyarakat

Para pemilik lahan di lokasi Agroforstry Batumalonro sepakat membentuk kelompok tani sebagai sarana sosialisasi, berorganisasi agar memudahkan pelaksanaan kegiatan sehari-hari. Kelompok tani tersebut adalah :

No

Kelompok Tani

Jml Anggota

Ketua

Lokasi

1

Ba’do Tene

49

Dg. Rani

Bunga Sunggu

2

Bakka Tene

50

Said Dg. Nompo

Bunga Sunggu

Dalam kegiatan sehari-hari, kedua kelompok tani tersebut didampingi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Al-Fath. Adapu beberapa kegiatan yang dilakukan LSM Al-Fath bersama seluruh angota kelompok tani antara lain:

  • Pertemuan dan sosialisasi pencegahan kebakaran hutan dan lahan
  • Pertemuan rutin kelompok tani
  • Inventarisasi angota kelompok tani
  • Inventarisasi kondisi lahan dan jenis tanaman yang siap tanam
  • Pembinaan dan motivasi anggota kelompok tani akan manfaat tanaman kayu-kayuan.
  • Pembenahan administrasi kelompok

4.Manfaat Agroforestry Bagi Masyarakat Batumalonro

Setelah berjalan selama 4 tahun, talah banyak manfaat yang bisa dirsakan warga desa Batumalonro dan sekitarnya, karena beberapa komoditas tanaman yang ditanam pada tahun pertama sudah mulai membuahkan hasil.

Komoditi tanaman palawija yang diusahakan masyarakat masyarakat Batumalonro antara lain : Jagung, Kacang-kacangan, sayuran, dan umbi-umbian. Adapun rata-rata produksi pertahunnya sebagai berikut:

No

Jenis Komoditi

Produksi /Th (Kg)

Harga / Kg

Perkiraan Pendapatan

1

Jagung

1.2 ton

Rp. 1.200,-

Rp. 1.440.000,-

2

Ubi kayu

± 200 kg

Rp. 500,-

Rp. 100.000,-

3

Wanafarma/Kunyit

± 150 kg

Rp. 800,-

Rp. 120.000,-

4

Sayuran

Fluktuatif

-

Konsumsi sendiri

Selain komoditi palawija dan holtikultura, masyarakat desa Batumalonro juga memperoleh hasil tambahan berupa buah jambu mete yang telah dipanen hingga mencapai ± 300 kg/tahun dengan harga jual mencapai Rp. 2000/kg (basah), sehingga tambahan pendapatan masyarakat setiap tahunnya akan mencapai ± Rp. 600.000,-

Sedangkan proyeksi pendapatan masyarakat dari hasil panen tanaman kayu-kayuan beberapa tahaun yang akan datang diperkirakan sebagai berikut:

No

Jenis Komoditi

Rata2 Jumlah Batang/KK

Harga / batang

± Perkiraan Pendapatan

1

Jati lokal

150

Rp. 150.000

Rp. 22.500.000

2

Gmelina

300

Rp.80.000

Rp.24.000.000

3

Mahoni

50

Rp. 110.000

Rp.5.500.000

Meskipun masih berskala kecil, kegiatan Agroforestry harus diakui telah mampu memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat Batumalonro. Hasil panen dari kegiatan Agroforestry kiranya akan cukup membantu masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan sehar-hari terutama bahan pangan, sembako yang semakin mahal akibat kenaikan BBM, dan kondisi ekonomi Indonesia yang masih belum stabil.

Model diatas sudah sepantasnya untuk terus dikembangkan, diadaptasi dan diimplementasikan di wilayah-wilayah lain khususnya di Sulawesi Selatan, sehingga membuka kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat yang memiliki keterbatasan lahan untuk memperbaiki kualitas hidup dan kehidupannya sekarang dan dimasa mendatang.

Source : http://www.bpdas-jeneberang.net/index.php?option=com_content&task=view&id=30&Itemid=51

Tidak ada komentar: