Selasa, 22 Juli 2008

Krisis Pangan Global dan Ancaman Bagi Indonesia

By WALHI

Krisis pangan global dirasakan dampaknya oleh seluruh negara melalui berbagai macam bentuk. Walaupun krisis pangan baru terasa nyata pada saat ini, tetapi prosesnya berlangsung lama seiring dengan berkembangnya sistem penyediaan pangan yang berorientasi akumulasi kapital secara global. Saat pangan diperlakukan seperti komoditas pada umumnya dan bukan sebagai hak dasar manusia untuk hidup, maka orientasinya akan berubah sesuai kecenderungan pasar. Dimana bahan pangan dengan permintaan tinggi akan diutamakan dengan mengabaikan dampaknya terhadap ketahanan pangan.

Krisis pangan pada saat ini terjadi dalam kaitannya dengan harga yang tinggi untuk beberapa bahan pangan, yaitu gandum, kedelai, beras, jagung, produk turunan susu, dan tanaman untuk minyak dan daging.

Penyebab kenaikan harga tidak sama untuk beberapa bahan pangan, dan dijelaskan sebagai berikut:

1. Harga pangan naik karena kompetisi dengan pangan/komoditi yang lebih menguntungkan

a. Tingginya harga bahan bakar fosil global mendorong pencarian alternatif dan termasuk di dalamnya agrofuel.

Agrofuel yang diminati saat ini adalah Jagung, Tebu, Sawit, Rapeseed. Efisiensi Jagung untuk bahan bakar mendorong Amerika menurunkan 15% produksi kedelai dan menggantinya ke Jagung. Penurunan ini menyebabkan kenaikan harga yang nyata dan menghantam negara pengimpor kedelai dari Amerika. Indonesia mengimpor sebanyak 64% kedelai dari Amerika (Deptan, 2007) dan penurunan suplai melumpuhkan lebih pengrajin tempe dan kedelai.

b. Perubahan pola konsumsi, yaitu peningkatan kebutuhan daging.

Beberapa Negara berkembang dengan penduduk tinggi seperti India dan China, perubahan konsumsi daging/kapita menyebabkan kenaikan harga daging, dan dampaknya menaikkan beberapa harga biji-bijian sebagai pakan.

2. Kenaikan harga pangan karena tingginya harga bahan bakar fosil. Dengan perdagangan pangan antar Negara, benua, samudra biaya transportasi akan menyebabkan naiknya harga pangan. Sebagai contoh, rata-rata jarak yang ditempuh oleh gandum pada saat diimpor adalah 3885 Km atau mendekati 4 kali panjang pulau jawa (http://www.localfooddirectory.ca/foodshed/geobrowser)

3. Kenaikan harga pangan karena prioritas kebutuhan dalam negeri.

Hal ini terjadi untuk beras, ketika eksportir ke-2 dan ke-3 terbesar di dunia, yaitu Vietnam dan India memutuskan untuk mengurangi jumlah ekspor.

4. Harga bahan bakar yang meningkat tinggi menuntut pencarian sumber alternatif yang lebih murah dengan meningkatkan agrofuel. Secara beruntun kompetisi agrofuel menyisihkan jumlah produksi untuk pangan sehingga harga pangan turut naik. Selain itu, pola penyediaan pangan yang berjalan melalui intensitas pertukaran yang tinggi dan jarak yang jauh menyebabkan harga pangan turut naik sebagai konsekuensi ongkos produksi.

Implikasi tingginya konsumsi daging

Sebagai gambaran, secara global perbandingan lahan yang digunakan untuk peternakan sekitar 25 kali lipat luas untuk tanaman, sedangkan hasil sereal atau biji-bijian mencapai hampir 9 kali lipat produksi daging yang dihasilkan (UN Food Outlook, Mei 2008). Atau untuk memenuhi kebutuhan daging seorang Kanada selama setahuan dibutuhkan 4,6 kali lipat lapangan bola (1,6 Ha), dibandingkan dengan beberapa negara berkembang yang dapat mencukupi kebutuhan karbohidrat satu orang dengan 0.2 Ha. (IDRC 2007 di http://www.idrc.ca/en/ev-30610-201-1-DO_TOPIC.html). Ilustrasi untuk jumlah air yang dibutuhkan: 1 kg gandum = 1000-2000 l air; 1 kg daging sapi = 10.000-13.000 l air

Dengan gambaran ini bisa dibayangkan ketika permintaan daging dari China dan India meningkat, maka semakin banyak bahan pangan yang dijadikan pakan, karena memberikan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Sejak tahun 1985 konsumsi daging di China meningkat dari 20% menjadi 50% terhadap porsi diet.

Secara konseptual dan visi dunia, agrikultur dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh umat manusia. Tetapi kenyataannya pangan sekedar komoditi dimana faktor-faktor penyetirnya adalah fungsi ekonomi. Pangan sebagai hak dasar sehingga kelaparan harus dihilangkan menjadi visi yang ditinggalkan. Kelaparan modern pasca 1700 memperlihatkan bahwa kelaparan justru disebabkan karena kebijakan yang tidak memprioritaskan keselamatan rakyatnya. Kelaparan Irish 1845-1849 terjadi setelah makanan dikirim ke Inggris yang mampu membayar lebih, begitu juga dengan kelaparan 1973 di Ethiopia. Kelaparan terbesar dalam abad 20 terjadi di China pada tahun 1958-61 dimana 20 juta orang meninggal, dan ini disebabkan kebijakan China untuk meninggalkan pertanian dan beralih sebagian ke industri baja.

Daftar kelaparan lain selama abad 20 dilatarbelakangi oleh terjadinya perang.

Dari gambaran di atas terlihat bahwa kelaparan modern terjadi untuk sebab-sebab yang dapat dihindari. Sistem produksi-konsumsi pangan dikontrol oleh pasar menyebabkan orientasi produksi bukan untuk pemenuhan hak manusia, melainkan untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya.

Krisis pangan Indonesia

Terhadap kenaikan harga global, harga pangan di Indonesia cenderung lebih stabil kecuali untuk minyak goreng dan kedelai. Bila Indonesia impor, maka ancaman di depan mata adalah kenaikan harga beras akibat kenaikan harga global 133% dalam periode januari-mei 2008 (FAO: Food Outlook, Mei 2008). Tetapi yang pasti terjadi adalah kenaikan harga pangan, termasuk beras pasca-kenaikan BBM.

Beras

Harga beras dalam negeri cenderung lebih stabil dibandingkan kenaikan harga global. Saat ini Indonesia masih terbilang aman soal beras, karena produksi hingga saat ini masih mampu memenuhi kebutuhan nasional, bahkan sedikit surplus.

Kondisi surplus dan tingginya harga beras menjadi godaan untuk ekspor walaupun dengan ketetapan hanya bila stok mencapai 3 juta ton.

Melihat kecenderungan impor Indonesia dengan variasi yang sangat tinggi, ekspor pada saat ini sangat berisiko. Indonesia tidak bisa mengekspor beras, bahkan jika cadangan mencapai 3 juta ton, seperti yang disyaratkan oleh pemerintah.

Harga beras global naik disebabkan dua negara pengekspor utama beras, yaitu Vietnam dan India memutuskan untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya terlebih dahulu. Tekanan peningkatan konsumsi, penurunan kualitas lahan, konversi lahan pertanian ke non-pertanian dan perubahan iklim mendorong orientasi lebih ke dalam negeri. Sebab tersebut tidak akan menjadi lebih baik dalam waktu dekat ini, bahkan diperkirakan harga beras akan terus tinggi hingga 10 tahun mendatang (OECD, FAO dan FAPRI[1]: Agriculture commodity market outlook 2007-2016). FAPRI dalam[2] laporan yang sama memperkirakan bahwa Indonesia akan tetap mengimpor beras pada 2008 walaupun di bawah satu juta ton, dibandingkan pada tahun 2007 dengan angka impor mencapai 1,8 juta ton. Dari faktor perubahan iklim saja disebutkan dalam laporan ke-4 IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) bahwa luas lahan pertanian global akan menurun seper enamnya.

Saat ini, beberapa daerah produsen beras utama Indonesia, seperti wilayah Pantura (Indramayu dan Cirebon) sedang mengalami kekeringan yang dapat membahayakan pasokan pangan nasional. Walaupun pemerintah secara resmi menyebutkan bahwa hingga saat ini Indonesia diperkirakan dapat memenuhi target nasional. Tetapi, ketidakpastian cuaca menuntut kita untuk tidak terlalu optimis. Cadangan nasional harus terus diamankan dengan tidak melakukan ekspor. Sebagai catatan hingga tahun 2005 Indonesia masih melakukan ekspor (Statistik Deptan) beras walaupun dengan jumlah sedikit.

Minyak Goreng

Minyak goreng berasal dari minyak kelapa sawit, dimana Indonesia adalah penghasil pertama di dunia. Produksi Indonesia menyumbang 43% sawit dunia dengan porsi ekspor sebesar 73% dan konsumsi dalam negeri hanya 27%. Hal ini memperlihatkan ironi saat terjadi kenaikan harga minyak goreng dalam negeri hingga 100%. Penyebab utama kenaikan disinyalir karna penimbunan dan secara skematis harga dibangun untuk mengikuti harga pasar. Perbedaaan yang mencolok akan mendorong penjualan keluar negri dibanding untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Di sini peran pemerintah untuk mengontrol distribusi, harga konsumen, dan memastikan akses masyarakat harus dijalankan.


Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

DinarRani Setiawan
Manajer Kampanye dan Pengkampanye Isu Air, Pangan dan Keberlanjutan
Email DinarRani Setiawan
Telepon kantor: +62-(0)21-791 93 363
Mobile:
Fax: +62-(0)21-794 1672

Source : http://www.walhi.or.id/kampanye/psda/080528_krisis_pangan_li/

Tidak ada komentar: