Jumat, 06 Februari 2009

“Lingkungan Hidup untuk Penghidupan dan Keberlanjutan Masyarakat”

Oleh Longgena Ginting
Direktur Eksekutif Nasional WALHI

Pendahuluan
Apa hubungan antara lingkungan dengan hak-hak asasi manusia? Mengapa organisasi lingkungan seperti WALHI berbicara dan ingin melindungi hak-hak asasi manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini sering ditanyakan kepada WALHI yang dikenal sebagai organisasi lingkungan. Lantas, apa artinya konsep-konsep hak atas lingkungan dan keadilan lingkungan tersebut bagi gerakan lingkungan? Pertanyaan-pertanyaan mendasar inilah yang ingin dijawab oleh dokumen ini.

Dokumen ini berjudul ”Lingkungan Hidup untuk Penghidupan dan Keberlanjutan Masyarakat,” yang memuat posisi politik WALHI terhadap hak-hak atas lingkungan, dan hubungannya dengan hak-hak asasi manusia. Kertas posisi ini disusun berdasarkan proses sebagai berikut:
(1) mensintesa berbagai pengalaman empirik WALHI bersama masyarakat dalam menghadapi berbagai masalah-masalah lingkungan;
(2) menganalisa pengalaman tersebut dan mengkonstruksinya ke berbagai teori-teori dan perangkat hukum internasional dan nasional yang ada;
(3) melakukan diskusi kritis dengan berbagai organisasi gerakan HAM melalui diskusi kelompok terfokus (focussed groups discussion) yang diselenggarakan bersama WALHI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menghargai perkembangan terakhir pengakuan internasional atas hak-hak individu dan hak-hak kolektif. Namun demikian, meskipun ada kemajuan dalam kerangka hukum tersebut, kenyataannya, kekerasan terus berlanjut, malah cenderung meningkat di beberapa tempat seiring dengan terus berkembangnya paradigma liberalisasi ekonomi di tingkat global dan pragmatisme pembangunan ekonomi di tingkat nasional.

Kita masih terus menyaksikan konflik atas tanah dan sumberdaya alam yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Konflik-konflik ini tidak jarang diikuti oleh kekerasan demi kekerasan. Hal ini dihadapi oleh masyarakat adat dan masyarakat lokal lainnya di Bulukumba-Sulawesi Selatan, di Pulau Halmahera-Maluku Utara, Manggarai-Nusa Tenggara Timur, Muna-Sulawesi Tenggara, dan di tempat-tempat lain. Sementara itu, kita juga masih menyaksikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang telah terjadi selama puluhan tahun dan belum dapat dituntaskan hingga sekarang, seperti yang dialami oleh masyarakat Toba di Porsea-Sumatera Utara, atau sebagian besar masyarakat adat Dayak di Kalimantan atau suku-suku lain di Sulawesi dan Papua, yang tanah-tanahnya dirampas untuk berbagai proyek kehutanan atau pertambangan. Daftar ini bisa kita lebih panjang kalau kita tuliskan satu per satu.

WALHI sedang bekerja untuk memajukan konsep-konsep hak lingkungan dan keadilan lingkungan. WALHI juga bekerja bagi pengakuan hak-hak asasi manusia, hak-hak lingkungan rakyat, dan komunitas-komunitas di mana aktivis-aktivisnya bekerja di seluruh Indonesia. Lebih dari itu, bersama organisasi-organisasi lain, kami akan bekerja untuk mendorong etik yang mengakui nilai dan keragaman kehidupan dan ketergantungan antara manusia dengan alam. Konsep kami atas keadilan lingkungan akan mengakui pentingnya masa depan alam, mengakui pentingnya jaring kehidupan dan ritme ekologi. Singkatnya, kami akan bekerja untuk melindungi lingkungan dan manusia dengan menghadapi agresi terhadapnya.

Kita harus mengakui bahwa hak-hak yang telah diakui saat ini merupakan buah dari perjuangan komunitas yang memiliki dan memperjuangkan hak-hak mereka tersebut. Mereka secara historis telah berjuang melawan kekerasan tersebut dan menuntut hak mereka. Kita hanya akan dapat bekerja dengan baik bila bekerja bersama mereka yang memiliki dan berjuang untuk hak-hak tersebut. Kami berencana untuk memperdebatkan, merumuskan, dan memajukan kerangka hukum nasional dan internasional agar dapat mendukung penegakan dan perlindungan atas hak-hak tersebut, dan secara maksimal berjuang bagi keadilan lingkungan.

Tuntutan atas Hak Lingkungan
Apa yang dituntut oleh komunitas tersebut, sesungguhnya disandarkan pada hak rakyat atas lingkungan. Hak-hak lingkungan ini berarti akses terhadap sumberdaya alam yang utuh yang memungkinkan mereka hidup dan bertahan, termasuk tanah, tempat tinggal, pangan, air dan udara. Ini juga termasuk hak ekologi yang lebih baik, termasuk mulai dari hak spesies tertentu sampai pada hak seorang individu untuk menikmati dan hidup di alam yang masih baik.

Dalam visi WALHI, hak-hak lingkungan mencakup hak-hak politik seperti hak untuk masyarakat adat dan hak kolektif lainnya, hak atas informasi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan, kebebasan beropini dan berekspresi, dan hak untuk menolak pembangunan yang tidak diinginkan. WALHI juga percaya terhadap hak untuk menuntut pemulihan terhadap hak-hak yang dilanggar, termasuk juga hak bagi pengungsi lingkungan dan hak orang yang tergusur akibat kerusakan lingkungan, hak untuk menuntut hutang ekologis dan hak atas keadilan lingkungan.

Banyak dari hak-hak di atas, khususnya hak-hak politik, telah diatur dan dilindungi dalam berbagai konvensi dan perjanjian. Kita mengakui penetapan sebagian hak-hak ini, namun kita harus mengakui bahwa sebagian hak tersebut belum diatur secara hukum, seperti misalnya hak atas hutang ekologi dan hak atas pengungsi lingkungan, khususnya pengungsi akibat perubahan iklim. Semua hak-hak di atas sama pentingnya dan terkait satu sam lain. Hak-hak lingkungan adalah hak asasi manusia, seperti juga halnya hak atas penghidupan, kesehatan, di mana keberadaannya sangat bergantung pada kualitas dan akses terhadap lingkungan sekitarnya dan hak mereka terhadap informasi, partisipasi, keamanan, dan pemulihan lingkungan.

Perkembangan Hak Asasi Manusia
Telah lebih dari beberapa dekade, hak asasi manusia telah diidentifikasi dan diatur dalam berbagai perjanjian internasional dan regional. Contoh yang paling bagus di antaranya adalah Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia (the Universal Declaration of Human Rights) 1948, yang mengatur anggota masyarakat internasional untuk menghormati hak-hak semua manusia untuk hidup, untuk memperoleh penghidupan layak, untuk kebebasan dan keamanan, untuk kebebasan mengeluarkan pendapat dan berekspresi, dan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan di negaranya. Pada tahun 1976, dua kovenan internasional muncul dengan dorongan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), yang pertama mencakup Hak-hak Sipil dan Politik (SIPOL) dan yang kedua adalah mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB).
Hak-hak sipil dan politik dikenal luas sebagai hak-hak ‘generasi pertama’, dan kadang-kadang disebut sebagai ‘hak-hak negatif’ karena menuntut negara untuk tidak menggunakan tindakan-tindakan seperti penyiksaan terhadap warga negaranya atau menyangkal hak untuk berbicara. Sementara itu, hak-hak ’generasi kedua’ yang mencakup hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, di satu sisi, sering disebut sebagai ’hak positip’, karena menuntut tindakan pemerintah untuk menyediakan pelayanan, seperti rumah atau sekolah. Baik hak-hak manusia generasi pertama maupun kedua, diatur dalam merespon kebutuhan individu yang memiliki hak telah dilanggar dalam puluhan terakhir ini, dan saat ini telah mendapat pengakuan dan penerimaan publik.

Munculnya Hak-hak lingkungan
Dalam beberapa tahun terakhir, didorong oleh berbagai pengaruh negatif yang didorong oleh globalisasi ekonomi terhadap manusia dan lingkungan di seluruh dunia, kategori lain dari hak telah muncul. Hak yang baru ini, sering sangat tepat dengan berbagai upaya komunitas atau kelompok masyarakat untuk memperoleh penghidupan yang sehat dan berkelanjutan di berbagai tempat di wilayah dunia.

Atas nama ’pembangunan’ dan ’perdagangan bebas’, pemerintah dan perusahaan- perusahan trans-nasional, secara terus-menerus menyerobot tanah, air, hutan, dan mineral. Semua ini mendorong pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan, seperti penyabotan atas tanah, penggusuran, polusi dan pengrusakan sumberdaya alam, kehadiran polisi, militerisasi, kekerasan, intimidasi, dan hal-hal buruk lainnya. Perempuan adalah yang paling sering menghadapi dampak dari berbagai kekerasan ini, seperti berjuang untuk melindungi dan menghidupi keluarganya. Mereka yang berusaha untuk mempertahankan lingkungan, termasuk rakyat yang terkena dan aktivis lingkungan dan sosial, juga kerap mendapatkan intimidasi dan kekerasan oleh berbagai kepentingan politik dan ekomoni.

Kecenderungan yang sama juga terjadi dengan kebijakan globalisasi ekonominya yang mengancam manusia dan habitat lainnya di berbagai belahan bumi, juga tidak didesain untuk memungkinkan rakyat untuk memutuskan masa depan mereka sendiri. Informasi dan rencana mengenai proyek pembangunan juga sering tidak memadai atau bahkan tidak tersedia, dan orang yang terkena dampak sering tidak ikut dalam proses pengambilan keputusan.

Hak-hak lingkungan seiring dengan hak-hak sipil dan politik. Masyarakat yang termarjinal di berbagai tempat, termasuk perempuan atau masyarakat miskin di perkotaan menderita akibat ketidakadilan lingkungan atau oleh polusi. Banyak pengalaman yang dihadapi oleh mereka umumnya disebabkan karena hak-hak sipil, politik, sosial dan ekonomi mereka tidak dihormati. WALHI percaya bahwa sebuah etik diperlukan, yakni etik yang memperjuangkan keadilan lingkungan dan pengakuan terhadap ketergantungan antara manusia dan lingkungan.
Hak lingkungan sangat kompleks, terutama bagaimana hak-hak ini menuntut pemerintah untuk melindungi lingkungan, yang sering membutuhkan langkah-langkah ekonomi, seperti pengaturan kegiatan korporasi, perjanjian internasional atau investasi oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Munculnya kebutuhan atas hak-hak pengungsi lingkungan, misalnya telah menimbulkan tuntutan khusus terhadap perombakan struktur ekonomi saat ini.

Hak-hak Lingkungan
Secara resmi, hubungan antara hak-hak manusia dan lingkungan, untuk pertama kalinya muncul pada tahun 1972 di Konferensi Stockholm tentang Lingkungan Manusia (the Human Environment). Pertemuan Rio de Janeiro (Earth Summit) pada tahun 1992 berhasil menyusun aturan normatif untuk hak-hak manusia dan lingkungan yang diatur dalam Deklarasi Rio dan Rencana Aksi Agenda 21. Selanjutnya pada tahun 1994, Reportur Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia dan Lingkungan untuk Sub Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas mengeluarkan analisis yang luar biasa dan mendalam mengenai hubungan antara hak asasi manusia dan lingkungan. Laporan ini menyimpulkan bahwa kerusakan lingkungan telah menyebabkan dampak serius terhadap kualitas hak-hak asasi manusia. Belakangan berbagai aturan PBB, keputusan pengadilan dan badan-badan internasional telah mempertajam dan mendukung pernyataan tersebut. Sayangnya, hingga saat ini, masih sangat sedikit aturan tentang hak asasi lingkungan yang bersifat mengikat secara hukum.

Lebih lanjut lagi, mereka yang menderita atas pelanggaran hak lingkungan tersebut, tidak selalu memiliki akses terhadap hukum. Hukum-hukum internasional tentang HAM, dan secara khusus mengenai hak lingkungan masih sangat kompleks, lamban, dan sangat rendah tingkat penegakannya. Tidak semua negara pula yang telah menjadi pihak dalam berbagai konvenan regional atau internasional yang relevan, dan akhirnya warga negaranya pun tidak memiliki akses terhadap konvenan yang relevan tersebut. Akses terhadap pengadilan internasional umumnya hanya dapat diperoleh ketika jawaban di tingkat nasional sudah tidak memungkinkan. Meskipun beberapa di antaranya telah berhasil diangkat ke sistem pengadilan tingkat internaisonal, kemenangan belum berarti dan masih jauh. Meskipun demikian, deklarasi hak-hak asasi manusia dan konvenan-konvenan internasional yang ada membawa kekuatan moral, dan dapat digunakan untuk menarik perhatian global kepada pelanggaran yang terjadi di manapun di sudut bumi ini. Tekanan publik yang signifikan dapat digunakan bagi pemerintah melalui pengadilan untuk menegakkan hukum-hukum internasional ini. Masyarakat yang dirugikan oleh proyek pembangunan juga dapat belajar untuk menggunakan sistem hukum nasional dan internasional untuk membawa perhatian publik dan memperkuat perjuangan mereka untuk keadilan. Hal ini telah dilakukan oleh berbagai masyarakat di Indonesia, seperti masyarakat Kuto Panjang, yang menggugat pertanggungjawaban JBIC dan pemerintah Jepang atas pembangunan DAM Kuto Panjang, atau juga masyarakat Buyat yang saat ini tengah berjuang melawan perusakan lingkungan yang diakibatkan oleh operasi pertambangan emas milik Newmont.

Penutup
Kami senang, karena akhirnya WALHI berhasil menyelesaikan Kertas Posisi ini. Banyak pihak telah memberikan bantuan, dorongan, dan ikut secara aktif memberikan tanggapan, masukan dan perbaikan, yang telah membuka dan memperluas cakrawala pandangan kami secara lebih luas. Semua masukan yang kami terima selama ini telah sangat menentukan bagaimana kami membangun perspektif atas hak lingkungan hidup.

Sebagai sebuah perspektif awal, kertas posisi ini menjelaskan secara sistematis apa itu hak atas lingkungan hidup dan bagaimana hak tersebut sangat penting bagi pemenuhan hak-hak manusia itu sendiri. Mudah-mudahan dokumen ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk mendiskusikan lebih lanjut dan memperjuangkan hak lingkungan di Indonesia dan juga secara global.
Akhir kata, dengan kerendahan hati, saya mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada banyak pihak, khususnya KOMNAS HAM dan sahabat-sahabat saya di KONTRAS, JATAM, HRWG, Koalisi ECOSOB, TAPAL, serta sejumlah praktisi dari DEPKEH HAM, DEPLU, KLH, juga kalangan akademisi yang telah memberikan sumbangsih pemikirannya dalam mengembangkan perspektif Hak atas lingkungan hidup ini.

Harapan kami bahwa kertas posisi ini dapat bermanfaat sebagai bagian dari masukan terhadap reformasi kebijakan (policy reform) di dalam memperjuangkan hak-hak politik rakyat dalam lingkungan hidup dan kemaslahatan masyarakat pada umumnya, serta keberlanjutan atas kehidupan rakyat pada khususnya.

Tidak ada komentar: